Notification

×

Iklan

Iklan

Nyawa Tak Lagi Berharga, Perempuan dan Anak Tak Lagi Dijaga di Tempat yang Katanya Kaya Akan Adat dan Agama

29 Juni 2025 | 20:35 WIB Last Updated 2025-06-29T13:35:19Z


Padang Pariaman, pasbana
Maraknya kasus kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman dalam beberapa waktu terakhir menuai keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Asri Suandi, mahasiswa asal Padang Pariaman yang juga menjabat sebagai Gubernur BEM Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang.

Dalam wawancara bersama redaksi, Asri menyatakan bahwa situasi ini bukan hanya darurat hukum, tapi sudah masuk pada tahap darurat nilai dan kemanusiaan. Ia menyoroti bagaimana dua wilayah yang dikenal menjunjung tinggi falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah justru menjadi lokasi terjadinya kekerasan brutal terhadap kelompok paling rentan dalam masyarakat. 

“Kita sedang hidup di tengah absurditas. Di tempat yang katanya kaya akan adat dan agama, justru perempuan dan anak-anak tidak dijaga. Mereka dibiarkan menjadi korban, berkali-kali,” tegas Asri.

Berdasarkan data yang dihimpun media ini dari berbagai sumber, termasuk pihak kepolisian dan lembaga perlindungan perempuan dan anak, dalam dua bulan pertama tahun 2025 tercatat sedikitnya delapan kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur terjadi di Padang Pariaman, termasuk korban dari kelompok penyandang disabilitas. Selain itu, kasus mutilasi yang menggegerkan publik pada Juni 2025 turut menyeret fakta lain: dua korban perempuan lainnya ternyata telah hilang sejak satu tahun lalu dan baru ditemukan ketika pelaku utama tertangkap.

Ironisnya, peristiwa tersebut disambut dengan pernyataan apresiasi dari Bupati Padang Pariaman kepada pihak kepolisian yang telah berhasil mengungkap kasus tersebut. Bagi Asri Suandi, pernyataan itu mencerminkan ketidakpekaan dan kegagalan dalam membaca esensi dari permasalahan yang sebenarnya.

“Saya tidak menolak kerja keras aparat. Tapi yang perlu kita sadari bersama adalah, jika korban ditemukan setelah satu tahun hilang, maka yang harusnya muncul pertama kali adalah permintaan maaf dan refleksi total. Bukan apresiasi kosong. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan, lambannya penanganan, dan buruknya koordinasi antara pemerintah dan aparat dalam menjamin keselamatan warga,” tegas Asri.

Lebih lanjut, Asri juga menyoroti bahwa langkah-langkah konkret pemerintah kerap kali baru muncul setelah munculnya korban dan viralnya kasus di media sosial, bukan sebagai bentuk antisipasi atau pencegahan yang terencana. Ia menekankan pentingnya kebijakan permanen yang tidak reaktif dan berjangka pendek. Pemerintah daerah, menurutnya, harus menyusun strategi jangka panjang berbasis Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, didukung oleh infrastruktur layanan, pendampingan korban, edukasi publik, serta partisipasi tokoh adat dan agama.

Ia pun menanggapi pernyataan Bupati Padang Pariaman yang mengimbau agar seluruh tokoh masyarakat dan ninik mamak memperhatikan anak kemenakan masing-masing. Menurut Asri, imbauan itu memang penting sebagai bentuk seruan moral, namun tidak cukup untuk menghadapi situasi darurat hari ini. 

“Ajakan untuk memperhatikan anak kemenakan adalah bagian dari upaya kultural yang bisa memperkuat solidaritas sosial. Tapi dalam kondisi darurat seperti ini, itu belum cukup. Yang kita butuhkan adalah kebijakan yang jelas dan tegas dari pemerintah, dengan instrumen hukum, mekanisme perlindungan, dan pembiayaan yang nyata. Kita bicara soal keselamatan nyawa, bukan sekadar menjaga hubungan kekerabatan,” terang Asri.

Ia menegaskan bahwa pemerintah harus mengambil peran lebih kuat dan konkret. Seruan adat tidak boleh dijadikan tameng untuk menghindari tanggung jawab institusional pemerintah. Masyarakat membutuhkan kepastian hukum, bukan sekadar imbauan. Harus ada sistem perlindungan terintegrasi yang mencakup pencegahan, pengaduan, penanganan cepat, pendampingan korban, serta edukasi masyarakat secara menyeluruh. 

“Mengapa kita baru bergerak ketika sudah ada darah yang tumpah dan kabar yang viral? Keselamatan perempuan dan anak tidak boleh bergantung pada atensi media. Seharusnya ada sistem atau kebijakan yang bisa menutupi rasa takut yang selama ini menghantui masyarakat. Masyarakat butuh jaminan keamanan yang nyata, bukan ketenangan palsu yang muncul sementara,” katanya.

Dalam posisi sebagai mahasiswa hukum dan aktivis kampus, Asri menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal isu ini dan menyuarakan kepentingan korban.

“Jika pemerintah masih ragu untuk bertindak, maka kami, generasi muda, tidak akan ragu untuk bersuara. Karena harga diri daerah ini tergantung pada bagaimana ia melindungi yang paling rentan,” ucapnya.

Sebagai penutup, ia menyerukan agar nilai adat dan agama tidak hanya menjadi semboyan tanpa ruh. Daerah yang menjunjung tinggi moralitas seharusnya menjadi pelindung bagi semua.

“Tidak ada kehormatan bagi sebuah daerah yang membiarkan anak-anak dan perempuan menjadi korban tanpa perlindungan. Jika kita benar-benar beradat dan beragama, maka kita seharusnya berdiri paling depan membela yang tertindas,” tutupnya.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update