Notification

×

Iklan

Iklan

SUMANIEK, Nagari Pincuran Bening Yang Tak Pernah Hening

23 Juli 2019 | 19:29 WIB Last Updated 2022-06-30T07:30:07Z
Oleh: INDRA UTAMA 
(Pengamat Kebudayaan)



Pasbana.com -- Duduk baselo dari puncak sebuah bukit, memandang jauh ke hamparan sawah yang menguning, terlihat susunan rumahgadang yang berdiri rapat, megah, yang semua gonjongnya terlihat searah perjalanan matahari dari arah Timur ke Barat, bagaikan susunan manik-manik yang tergantung indah di leher gadis-gadis anak nagari. Bergumam Tuan Makhudum Shah ketika itu “tepat sekali nagari ini dinamakan SUMANIEK,” yang bermakna nagari susunan maniek-maniek. Demikianlah sampai saat sekarang, nagari yang berpenduduk seramai 4650 jiwa itu kekal bernama nagari Sumaniek.

Nama Tuan Makhudum Shah di Sumaniek, memang identik dengan nagari Sumaniek itu sendiri. Sebab, Tuan Makhudum Shah yang kemudian menjadi raja di Sumaniek, merupakan bahagian penting pula di dalam pemerintahan Kerajaan Pagaruyung dalam lembaga Basa Ampek Balai.

Dari tempat Tuan Makhudum Shah duduk baselo itu, bertanya beliau kepada cerdik pandai yang menyertai rombongannya, “Bukit apa ini namanya?” Spontan saja cerdik pandai itu menjawab, “Bukit Selo Tuanku,” dan nama Bukit Selo pun kemudian menjadi sebutan yang berada di nagari Sumaniek sampai saat sekarang. Begitu pula dengan nama dua aliran Batang Air yang melintasi nagari Sumaniek. Dari tempat Tuan Makhudum Shah baselo itu beliau bertanya sehubungan di kejauhan nampak liukan dua batang air (sungai) yang indah melintasi nagari. Tuan Makhudum Shah, sambil menunjuk ke arah dua batang air tersebut bertanya, “Batang Air yang dua itu apa pula namanya?” Secara spontan pula cerdik pandai itu menjawab, “Batang Selo dan Batang Sumaniek Tuanku.” Nama Batang Selo dan Batang Sumaniek pun kekal menjadi nama kedua batang air itu.


Rumah Gadang bersusun maniek di Nagari Sumaniek ( foto : Dok. Istimewa )

Demikianlah adanya kewujudan nagari Sumaniek yang mempesona, dengan nama-nama alam yang menyertainya, terdapat dua batang air yang mengaliri sawah dan ladang yang memberi kehidupan kepada masyarakatnya yang ramah bersahaja, serta senang menjamu si anak dagang.

Nagari seluas 2000-ha dengan persawahan mencapai 380-ha, serta memiliki hutan dan ladang seluas 810-ha, yang berada di antara dua kawasan perbukitan itu, menjadikan nagari Sumaniek tidak pernah lengang berdengung dan menjadi sebutan di ranah dan di rantau. Sebab karenanya, banyak tokoh intelektual dan tokoh agama yang lahir dari nagari ini, antaranya adalah Haji Sumaniek, Haji Djalaluddin, dan Buya Malik Ahmad. Khusus Haji Sumaniek pula, beliau adalah ulama yang sangat terkenal karena perjuangannya bersama dua rekan yang bernama Haji Piobang dan Haji Miskin di dalam melakukan pembaharuan di Minangkabau yang berujung terjadinya Perang Padri. Perang Padri itu, sepertimana yang kita kenal melalui pembelajaran sejarah Minangkabau, akhirnya disudahi melalui kesepakatan damai di puncak marapalam melalui pernyataan “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Adapun tokoh-tokoh intelektual yang lahir dari nagari Sumaniek pula, ada nama Dahlan Ibrahim yang pernah menjadi menteri pada masa pemerintahan Soekarno, ada Ir. Januar Muin yang menjadi teknokrat di bidang kelistrikan di Sumatra Barat, dan ada nama Ahmad Dt. Tan Adil yang menjadi pakar dalam bidang adat dan budaya Minangkabau.

Sesuatu yang sangat unik dari potensi geografis nagari Sumaniek adalah keadaan alamnya yang memiliki banyak pincuran dengan airnya yang bening sebagai tempat mandi, mencuci pakaian, dan untuk keperluan lainnya. Semua pincuran itu memiliki nama tersendiri untuk membedakan antara satu dengan yang lainnya, seperti Pincuran Sijanguah, Pincuran Biaro, Pincuran Kubang, Pincuran Kolam, Pincuran Luak Nasi, Pincuran Bungo, Pincuran Jendo, Pincuran Rambun, Pincuran Mudiek, Pincuran Batang Barayo, Pincuran Jantan, Pincuran Tunggang, Pincuran Sigadubang, Pincuran Rajo, Pincuran Tampuniek, Pincuran Tabieng Tinggi, Pincuran Sumbek, Pincuran Sinobo, Pincuran Duo, Pincuran Batang Kumango, dan Pincuran Tinggi.

Bagi masyarakat Sumaniek, pincuran-pincuran itu selain berguna sebagai tempat mandi, mencuci dan untuk memenuhi keperluan harian lainnya, juga berfungsi sebagai ruang sosial yang mempertemukan masyarakatnya dalam sebuah kontak silaturahim. Di pincuran itu terjadi pertemuan antara individu dalam nagari, yang bahkan menjadi tempat yang dirindukan pula oleh perantau saat pulang kampung. Ketika perantau pulang kampung, jika tidak mandi ke pincuran belumlah terasa berada di kampung halamannya.

Di tengah riuhnya bunyi pincuran bening yang tak pernah hening itu, nagari Sumaniek juga memiliki keriuhan permainan anak nagari yang dapat menjadi ikon nagari Sumaniek, seperti pancak (silek) Kumango, tari pirieng di ateh kaco, permainan musik talempong, randai, salueng dendang, dan pidato adat. Untuk menopang tampilnya kesenian anak nagari itu, maka di nagari Sumaniek pun sejak lama sudah ada beberapa acara kenagarian seperti batagak pangulu, turun mandi, alek perkawinan, batagak tunggak rumahgadang, dan sunatan. Namun pada saat ini, beberapa acara kenagarian itu sudah mulai tergerus oleh desakan arus budaya asing sehingga tidak dilaksanakan lagi. Menyadari keadaan itu, muncul rencana dari masyarakat nagari Sumaniek untuk membuat acara baru yang berbasiskan kebudayaan dan kesenian anak nagari, sehingga bentuk-bentuk kesenian anak nagari itu dapat ditampilkan bagi menopang kehidupan kesenian anak nagari Sumaniek, salah satunya adalah melalui acara tahunan dalam rangka memeriahkan hari raya idul fitri sekaligus menyambut para perantau pulang basamo.


Sawah Sijonjang di Nagari Sumaniek ( foto: Dok. Istimewa )

Nagari Sumaniek juga memiliki kuliner khas yang dapat dibeli oleh para pengunjung seperti rendang belut, samba lado tulang, kerupuk merah, durian, pokat, pisang, jagung, kerupuk ubi, kubang, limpieng, uwok pucuak ubi, dan keripik talas. Selain itu, juga ada hasil kerajinan masyarakat Sumaniek yang disebut batik tanah liek. Sebagai tempat berjual beli, di nagari Sumaniek pun sejak lama sudah ada pasar tradisional.

Minggu yang lalu saya berkunjung ke nagari Sumaniek dengan diantar dua teman sama-sama alumni INS Kayutanam asal nagari Sumaniek, yaitu Zulheri yang sekarang menjadi PNS Kabupaten Tanahdatar di Batusangkar, dan Aldafri yang pensiunan PNS Kabupaten Tanahdatar. Kebetulan saya memang suka jalan-jalan menelusuri pelosok nagari Minangkabau untuk melihat potensi kesenian anak nagari dan mengamati kebudayaannya. Kehadiran saya di nagari Sumaniek disambut dengan sangat mesra oleh Walinagari Irama Yandi S.Ap, pengurus KAN, Bundo Kanduang, para guru, dan pelaku kesenian anak nagari. Kami pun mengadakan pertemuan dan perbicangan untuk berbagi pengalaman. Di dalam perbincangan yang sangat akrab itu muncul beberapa ide untuk menjadikan nagari Sumaniek menjadi salah satu daerah tujuan wisata berbasis potensi budaya dan ekonomi anak nagari. Sebab, dari segi geografis, potensi alam dan budayanya, nagari ini memiliki peninggalan situs sejarah yang dapat menjadi daerah tujuan wisata seperti peninggalan sejarah Rumah Potong Sapi, Tembok Bagalueng, Batu Sandaran Bodiah, Kandang Baukie, Tapak Kubu, Balai Goba, Balerong Sari, Batu Batingkok, Batu manangih,  Batu Sandaran Rajo, Bungo Sitangkai, dan beberapa peninggalan Tuan Makhudum Shah.

Terbersit sebuah harapan yang disampaikan oleh masyarakat nagari Sumaniek di dalam pertemuan itu, bahwa masyarakat nagari Sumaniek mengharapkan adanya hubungan kerjasama (MoU) antara nagari Sumaniek dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Masyarakat nagari Sumaniek mengharapkan nagari mereka dapat dijadikan daerah pembinaan untuk aktivitas pemajuan kebudayaan dari ISI Padangpanjang, salah satunya adalah dengan menjadikan nagari Sumaniek sebagai daerah tujuan pengabdian kepada masyarakat sekaligus dapat mengirimkan mahasiswa KKN ke nagari Sumaniek. Mari kita lestarikan kekayaan yang tersebar di nagari kita agar kita bisa makin tahu Indonesia.



Padangpanjang, 23 Juli 2019.


×
Kaba Nan Baru Update