Notification

×

Iklan

Iklan

Kijang di Pompa Pertamax

20 Februari 2020 | 08.38 WIB Last Updated 2020-02-20T01:38:11Z
Oleh Musriadi Musanif
(Wartawan Utama)

Pasbana.com -- TIDAK ada larangan, oto-oto rancak mengisi premium di SPBU. Belum ada aturan yang melarang, mobil-mobil seharga Rp200 juta ke atas, ikut antri untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tersebut. Dengan demikian, selain pemilik dan karyawan SPBU, tidak boleh ada yang mengatur-atur jenis mobil yang akan membeli premium.

Akibat pendapat yang sejalan dengan alinea pertama artikel ini, antrian di SPBU sejak beberapa bulan terakhir selalu mengular, sehingga menutup sebagian jalan raya dan mendatangkan kemacetan. Kemacetan itu akan menjadi semakin arah, ketika mobil-mobil besar ikut pula ‘menyeruduk’ ke SPBU di perkotaan, guna mendapatkan solar bersubsidi pula.

Bagi masyarakat Bukittinggi, Padang Panjang, Pasaman Barat, Pasaman, dan Batusangkar, melihat antrian panjang mobil-mobil yang akan mengisi premium di SPBU, lalu menyebabkan macet di jalan raya, sudah menjadi pemandangan lumrah. Entah sampai kapankah, kondisi seperti itu akan teratasi. Khusus di Pasaman dan Pasaman Barat, saya tidak pernah menemukan ada SPBU yang menjual premium.

Nah, ini lain! Pada sebuah SPBU di sisi timur Kota Padang Panjang, saya terpana. Sebuah mobil jenis Toyota Kijang, perkiraan saya keluaran tahun 1992-1995, ‘berkayuh santai’ melewati mobil-mobil bagus yang sedang antri premium. Kijang itu menuju pompa BBM jenis pertamax, bensin yang tidak disubsidi.

Setelah Kijang itu berlalu, saya mendekat ke pompa pertamax itu. Tertera angka Rp100 ribu, pertanda mobil itu mengisi tangkinya dengan BBM seharga angka tersebut. Empat hari kemudian, Kijang itu terlihat lagi di situ. Timbul rasa kagum saya kepada sang pemilik yang diperkirakan berusia 60-an tahun.

Saya melihat dengan tatapan panjang, sampai Kijang berwarna biru itu menghilang. Saya pun mengacungkan jempol kepada sang bapak. Spontan saja.

Di sisi lain, antrian premium terus mengular. Selain angkutan kota berwarna kuning dan merah, saya juga menemukan banyak kendaraan berharga di atas Rp200 juta yang antri. Pada sejumlah kendaraan, di kaca belakangnya tertempel stiker kecil bertuliskan RON 92, simbol yang menjelaskan, mobil itu tidak cocok minum premium.

Pada waktu lain, saya berbincang serius dengan seorang pedagang keliling yang menjual mobil-mobil bekas, tapi mobil yang dijualnya berusia kurang dari sepuluh tahun. Menurutnya, mobil-mobil yang dia jual, selalu dia anjurkan mengisi premium. Kalau sedang ada banyak uang, tak apalah diisi dengan pertamax.

“Tapi jangan diisi pertalite, nanti mesin jadi kering,” imbuhnya memberi penegasan. Wajahnya serius. “Jangan diisi pertalite,” ulangnya.

Menurut orang-orang yang Pertamina atau pejabat pemerintah yang kerap diwawancarai media menyangkut BBM, premium itu RON-nya 88, pertalite 90,  pertamax 92, pertamax turbo 98, dan pertamax racing 100. RON adalah singkatan dari Research Octane Number, istilah untuk kadar oktan yang terkandung dalam BBM.

Melihat angka-angka RON itu, jelas saja pertalite di atas premium. Tapi kenapa masih banyak yang berpandangan, usahakan dulu untuk mengisi premium, kalau tak dapat isi saja pertamax sedikit? Ada apa dengan pertalite dan BBM untuk mobil di atas Rp200 juta lainnya?

Pendapat itu sudah bertahun-tahun dianut sebagian orang yang bergelut di dunia otomotif, baik pemilik kendaraan maupun pengemudi. Itu pulalah alasannya, kenapa pemilik mobil-mobil bagus tersebut rela antri untuk mendapatkan premium.

Bapak pengemudi Kijang di pompa pertamax tadi, tidak masuk ke dalam kelompok sebagian orang itu, tentunya. Bagi dia, biarlah mobil tuanya diberi minum pertamax, lalu sesekali pertalite.

Pihak Pertamina dan jajaran terkait, nampaknya harus bekerja keras lagi memberi penjelasan secara intensif ke semua elemen di masyarakat. Penjelasan yang bisa dimengerti dalam bahasa awam, bukan penjelasan berbahasa teknis yang kemudian menimbulkan salah pengertian dan salam paham.(*)
×
Kaba Nan Baru Update