Notification

×

Iklan

Iklan

Dimensi Kerohanian Kemasyarakatan Dalam Zakat

02 September 2020 | 06.02 WIB Last Updated 2020-09-01T23:06:06Z


Ditulis oleh: Zulhendri, SE, ME (*

Pasbana.com --  Zakat adalah rukun Islam ketiga setelah shalat, ia terletak di tengah-tengah di antara lima rukun Islam. Jika semua rukun Islam lebih kental nuansa amalan ibadah dan penghambaan kepada Allah (hablum minallah), akan tetapi berbeda dengan zakat, ia lebih kental nuansa sosial kemasyarakatannya (hablum minannas).

Zakat merupakan rukun Islam yang langsung menyentuh persoalan ekonomi bagi  umat Islam (Hikmat Kurnia & Hidayat). 

    Syekh Yusuf Qardawi menjelaskan bahwa Islam sesungguhnya menginginkan supaya semua umat Islam dapat mempersiapkan kehidupan di dunia yang terbaik. Sehingga UMAT muslim dapat menikmati anugrah kehidupan  yang dipenuhi dengan karunia yang bukan hanya dari bumi melainkan juga karunia dari langi dan agar mampu menjaganya dan mengelolan apa saja yang ada di dalamnya dengan baik yang bertujuan agar umat muslim dapat melaksanakan ibadah kepada Allah dengan penuh kekhusyu’an.  

Ia akan lebih konsentrasi untuk mengenal Allah dan lebih mudah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Inilah sebab di antaranya mengapa Allah mewajibkan zakat dan menjadikannya sebagai azas terhadap keberlangsungan agama Islam di atas dunia ini.  

Dengan cara mengambil zakat dari orang-orang yang mampu atau orang-orang kaya, kemudian memberikannya kepada orang fakir dan miskin untuk membantunya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Dengan zakat inilah para fakir dan miskin dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan dalam menjalankan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah swt. Sehingga para fakir miskin merasa menjadi bagian dari masyarakat yang ada, tidak menjadi masyarakat yang terpinggirkan.

Nuansa sosial yang tercermin dari ibadah zakat adalah sebuah  bentuk dari kepedulian  bagi kaum muslim yang lemah dari sisi ekonomi, supaya mereka mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganaya sekaligus mampu mengurangi kepincangan kesejahtaeraan  antara kaum muslim yang dianugrahi dengan kekayaan  dengan kaum muslim yang diuji dengan kemiskinan. Yang jurang pemisah itu sangat kentara dan jelas sekali.

Dengan zakat tersebut mampu memangkas jurang perbedaan itu yang bisa berpotensi memicu keresahan sosial, karena mereka kaum fakir miskin merasa menjadi bagian dari keluarga orang-orang kaya di sekitarnya. Dan orang kayapun sudah menganggap bahwa kaum fakir miskin merupakan bagian dari tanggung jawab mereka. 

Dan dengan zakat bisa menciptakan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta benda sehingga diharapkan tercipta masyarakat yang makmur, damai dan sentosa, saling mencintai atas dasar ukhuwah Islamiyah dan takaful ijtima’i. 

Sebenarnya tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi tentang perhatian Islam tentang masalah kemiskinan umat dan juga tidak bisa juga dibandingkan dengan agama- agama lain. Justru agama Islamlah yang bisa dikatakan agama yang lebih tinggi perhatiannya terhadap persoalan kemiskinan. 

Hal ini dibuktikan di dalam  kitap suci Al-Qur’an tentang orang-orang yang dianggap sebagai pembohong besar dan mendapatkan siksaan diakhirat kelak dikarenakan sikap mereka yang membiarkan orang-orang miskin dengan tidak memperdulikannya, sehingga mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan yang menyebabkan kehidupan mereka menjadi menderita. Sebagaima dijelaskan dalam QS. 74: 38-46, QS. 68: 19-33, QS. 69: 30-34, QS. 89: 17-18, QS. 51: 19-20, dan QS. 70: 19-25 (Qardawi).

Sebenarnya disamping ibadah kepada sang Khaliq, zakat memiliki pesan-pesan sosial yang sangat jelas, namun selama ini umat Islam belum merealisasikan dan menggunakan zakat sebagai instrumen buat pengentasan kemiskinan . Artinya masyarakat masih terjebak dalam pemikiran- pemikiran lama yang tertumpu kepada pandangan ritual yang kaku, sehingga zakat justru tidak terlalu menampakkan dimensi sosialnya. Kaum muslim masih sekedar menganggap bahwa zakat adalah suruhan agama, perintah Tuhan  yang wajib dilaksanakan, tanpa tahu makna dan pesan dari perintah zakat itu sendiri. 

Dalam praktiknya ditengah masyarakat secara umum zakat hanya merupakan sebagai santunan yang berhubungan dengan kebutuhan individu dalam skala yang masih sangat terbatas, terlebih lagi dalam kehidupan sosial umat saat ini yang serba teratur,tersistem. 

Walaupun dalam satu komunitas tertentu kewajiban zakat ditunaikan dengan intensitas yang tinggi, akan tetapi realitas sosial yang timpang dalam komunitas tersebut tetap saja menjadi kendala perubahan sosial ekonomi, artinya yang miskin tetap miskin dan terus dalam posisi tertindas (mas’udi).

Pemahaman keagamaan kebanyakan umat yang kaku yang menegaskan bahwa segala perintah agama adalah perintah yang hanya memerlukan pelaksanaan tanpa ingin tahu mengapa dan dalam konteks apa, maka dengan pemikiran demikian akan timbul pemahaman bahwa zakat hanya berarti sebutan untuk kadar tertentu dari harta tertentu yang wajib dibagikan kepada kelompok tertentu, sebagaimana didefinisikan para ulama fiqh. 

Dalam definisi tersebut jelas bahwa zakat cenderung dipahami bukan sebagai konsep keagamaan yang berpangkal kepada komitmen keruhanian, melainkan lebih sebagai konsep teknis administratif yang bersifat alternatif terhadap konsep-konsep sejenisnya. 

Akan tetapi zakat juga dipahami sebagai konsep administratif kelembagaan yang berarti berkapasitas duniawi (profan) dan bisa berubah, dipihak yang lain ia dipandang sebagai konsep langit yang tidak mmungkin ada ruang untuk perubahan dan pengembangan (mas’udi). 

Padahal jelas bahwa zakat memiliki pesan sosial ekonomi yang sangat gamblang yang berkaitan dengan kepedulian terhadap kaum fuqara dan masakin.

Dengan demikian secara kerohanian zakat merupakan sebuah pengaktualisasian iman seorang musliam kepada Allah SWT. Dengan bersyukur terhadap limpahan nikmatnya , beradap serta menjunjung bakhlak yang mulia serta membuang sifat- sifat yang tidak terpuji, tamak, rakus terhadap dunia,dan kikir. 

Zakat merupakan salah sebuah acuan untuk menimbang kadar kekuatan iman seorang muslim serta meguji tentang sedalam apa kecintaannya yang tulus kepada Allah swt, karena secara lahiriah atau kecenderungan seorang manusia itu sangat cinta terhadap harta benda dunia. 

Zakat juga dapat sebagai obat dalam menghilangkan sifat-sifat tercela yaitu iri, dengki/ hasud yang mungkin muncul terutama kepada mereka orang-orang miskin yang melihat kehidupan orang-orang kaya yang tidak memperdulikan mereka. 

Dengan zakat maka sesungguhnya kita telah mensucikan diri kita dari dosa, memurnikan jiwa (tazkiyah an-nafs), menumbuhkan akhlak mulia, murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan, mengikis sifat bakhil/ kikir serta serakah, sehingga dapat menghadirkan ketenangan hati dan jiwa (Hikmat Kurnia & Hidayat).

Zakat adalah salah satu tangga spiritual seseorang untuk melepaskan kecintaannya yang berlebihan terhadap dunia yang dapat menyebabkan seorang muslim bisa menjadi budak dunia. Dalam istilah tasawuf zakat dapat membentuk diri menjadi seorang zahid yaitu orang yang memiliki sifat atau karakter zuhud (tidak terikat hatinya oleh harta benda dunia). 

Zuhud merupakan keniscayaan bagi seorang mukmin yang ingin lebih dekat dengan tuhanNya. Karena dengan zuhud seorang mukmin tidak lagi eman (sayang) yang berlebihan terhadap harta benda yang dimilikinya, sehingga ia mudah terketuk hatinya untuk memberikan sebagian harta yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya.(*)


(* : Penulis adalah Pengasuh Laman Syari'ah Corner dan Pelaku Ekonomi Syari'ah


Rujukan :
- Hikmat Kurnia & Hidayat - “Panduan pintar zakat:Harta berkah pahala bertambah”

- Yusuf Qardawi “ Hukum Zakat” & “Spektrum zakat dalam membangun ekonomi kerakyatan”.

- Mas,udi,Masdar Farid,” Pajak itu zakat :Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat”

                      
×
Kaba Nan Baru Update