Notification

×

Iklan

Iklan

Bancah Laweh: Saksi Romantisme Zainuddin dan Hayati

14 Maret 2024 | 09.00 WIB Last Updated 2024-03-14T02:39:57Z


PASBANA - Hari masih pagi, mentari di ufuk timur mulai menyinari dengan hangatnya. Beberapa orang tengah asyik menggerakkan badan seiring irama yang terdengar rancak dan bersemangat. Cuaca yang bersahabat menambah semangat mereka yang berolahraga senam untuk lebih energik bergerak.

Sejak sebagian lahan di Bancah Laweh dilapisi oleh aspal, memang lokasi ini jadi tempat favorit bagi mereka yang ingin olahraga senam modern. Sebulan sebanyak dua kali , para ASN bersenam di lapangan aspal Bancah Laweh. Sedangkan masyarakat umum hampir setiap Minggu. 

Jika cuaca cukup cerah, maka peserta senamnya pun bisa sangat ramai.

Dan satu pemandangan yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah kuda-kuda yang sedang merumput. Nampak kuda-kuda gagah sedang makan rumput , yang memang cukup banyak tumbuh di area lapangan Bancah Laweh. 




Ada yang berlarian bebas, namun ada sebagian yang diikat dan ditunggui oleh pemeliharanya.

Membicarakan Lapangan Bancah Laweh, khususnya Gelanggang Pacuan Kuda, menyimpan banyak kenangan yang berkesan bagi banyak orang dan sejarah yang panjang . Banyak kisah heroik dari para Joki hebat yang unjuk kebolehan di gelanggang legendaris ini.

Pembangunan Gelanggang Bancah Laweh bermula pada awal tahun 1888 , dimana pada saat itu Onderafdeling Batipuh X Koto dengan persetujuan Guvernur Jendral Hindia Belanda membentuk Onderafdelingraad Batipuh XKoto yang anggota nya ditentukan Belanda.

Dan As. Residen HE Prins sebagai pimpinan Onderafdeling Batipuh XKoto berusaha membina hubungan kerjasama dengan Laras Nan VII dan Penghulu kepala se-Batipuh X Koto yang dimotori oleh Tuanku Nan Elok . 

Dari kerjasama yang terjalin, muncullah inisiatif untuk mewujudkan beberapa pembangunan beberapa infrastruktur. Antara lain adalah pembangunan pasar dan gelanggang pacuan kuda bancah laweh.

Di beberapa literatur dijelaskan bahwa tenaga gotong-royong rakyat yang murah dimanfaatkannya untuk melaksanakan sistim kerja paksa (rodi). 

Dijelaskan juga bahwa  Pembangunan gelanggang pacuan kuda bancah laweh dibangun sekitaran tahun 1888 semasa as. Residen HE Prins dan selesai pada tahun 1894 ketika tuan masthoof jadi as.Residen. 

Ada perubahan besar-besaran pada masa itu. Pembangunan loods pakan Jum,at oleh laras nan VII dikontrakkan kepada tuan Sinjnja tahun 1894. Pada tahun 1990 kekuasaan laras nan VII atas Padang-panjang dihapuskan. Kelancaran roda pemerintahan diserahkan kepada seorang rooimester. 

Pada tahun 1906 atas persetujuan laras nan VII dengan ass. Residen Lulofv, pekan Jum’at dipindahkan ke pasar baru.

Biaya pembangunan pasar baru itu dipikul sepenuhnya oleh penduduk Batipuh X Koto. Dalam pemindahan pasar inilah Tuan Luhak Batipuh X Koto melakukan tangan besinya, sehingga menjadi sebutan: “ka rodi ka pasa baru-mahanta batuang ka rumah tuan luhak”. 



Pada tahun 1913 pasar baru telah dinaiki dengan pesta besar yang diramaikan dengan pasar keramaian dan pacuan kuda. Inilah sebuah pesta besar yang menjadi tonggak kebangkitan arena pacu kuda di gelanggang Bancah Laweh.

Secara kondisi geografis , lapangan Bancah Laweh memiliki luas 8,0 Hektar dan berada di Kelurahan Tanah Hitam, Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang. Dihiasi perbukitan yang menghijau di sisi selatan, menjadikan Gelanggang Bancah Laweh memiliki nuansa eksotis dan romantis.


"Bancah laweh" artinya rawa yang luas, karena dulu gelanggang tersebut awalnya adalah rawa. Siang itu, dalam sekejap, arena tersebut kembali berubah menjadi rawa saat hujan tiba-tiba datang dan lapangan dipenuhi air. Ini salah satu tabiat Padangpanjang: tiada hari tanpa hujan.

Pertandingan terpaksa ditunda beberapa jam, menunggu jalur lintasan disiram pasir agar kuda tidak terpeleset.

Jika Anda membaca novel lawas Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka, maka Anda akan dibawa mengkhayal suasana pacuan kuda di Gelanggang Bancah Laweh, Padangpanjang, Sumatera Barat, kala itu. Dan Gelanggang Pacu Kuda Bancah Laweh adalah salah satu latar novel percintaan yang romantis nan tragis itu.

Dulu, arena pacuan kuda di Bancah Laweh bisa diadakan setiap tahunnya. Biasanya pada pertengahan April atau Mei. Dan banyak pelancong dari luar kota berkunjung ke Padang Panjang hanya untuk menonton pacuan kuda. Berbicara Padang Panjang, kota ini memang sangat menawan, diapit oleh Gunung Singgalang dan Gunung Marapi , menjadi setting cerita yang pas untuk beberapa karya sastra.

Wajar kiranya,  sastrawan besar sekaliber A.A. Navis menjadikan Padangpanjang latar sebagian besar karyanya karena ia memang lahir dan besar di kota ini.




Saat Gelanggang Bancah Laweh digunakan untuk arena pacuan kuda, masyarakat dari sekitaran Padangpanjang- Batipuh - X Koto datang berduyun-duyun menuju Gelanggang yang terletak di sisi bukit kapur itu.

Bagi sebagian besar masyarakat PABASKO, acara pacuan kuda menjadi arena pesta rakyat yang ditunggu-tunggu. Persis seperti yang tergambar dalam cerita Novel " Tenggelamnya Kapal Van der Wijck " . Dengan harga tiket kala itu hanya sebesar Rp. 3.500, - an , sangat terjangkau bagi khalayak ramai dan menjadi hiburan yang murah meriah.

Para pengunjung dari sekitaran Padangpanjang ini hadir ke Bancah Laweh layaknya hendak berhari raya. Dengan dandanan dan pakaian terbaiknya mereka memenuhi tribun penonton.

Dan pemandangan unik lainnya adalah aksesoris topi koboi yang banyak dikenakan oleh para lelaki baik tua maupun muda.

Pacuan kuda bagi masyarakat Minangkabau tempo dulu menjadi prestise tersendiri bagi sang pemilik kuda maupun asal daerah pemilik kuda tersebut. Biasanya hal ini ditunjukkan dengan ragam bendera tiap-tiap daerah yang ikut pacuan berkibar-kibar aneka warna. 

Ada kesepakatan tidak tertulis dalam hal bendera ini, untuk merah adalah warna bendera Agam, kuning Batusangkar, hijau Padangpanjang, kuning-hijau Pariaman, biru Payakumbuh, putih-kuning-biru Sawahlunto, kuning-biru Padang, dan kuning-merah Solok.

Selaras dengan  warna pakaian yang dikenakan oleh sang  joki. Bendera ini menandakan betapa tradisi pacuan kuda menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat Minangkabau tempo dulu.

Berbicara tentang Bancah Laweh tak terlepas dari sebuah setting cerita novel yang sangat romantis antara Hayati dan Zainudin. Ya , di sebuah tribun yang ada di Bancah Laweh lah diceritakan Hayati duduk gelisah memikirkan Zainudin. Namun tribun lama yang digunakan Buya Hamka sebagai setting novelnya telah dirobohkan dan kini telah diganti dengan Tribun baru yang lebih kokoh dan permanen.

Pacu Kuda merupakan budaya masyarakat nenek moyang sejak dahulunya , jika dilihat dari segi prospeknya bisa dikembangkan menjadi sebuah destinasi wisata yang menarik . Namun sudah beberapa tahun terakhir, tidak ada lagi pacuan kuda digelar lagi di Bancah Laweh . Namun untuk pembangunan Lapangan Bancah Laweh terus dilakukan oleh Pemerintah setempat.

“Lapangan Pacuan Kuda Bancah Laweh adalah kebanggaan masyarakat, banyak dampak multi year efek terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat, mulai dari pemilik kuda, peternak dan ekonomi masyarakat. Kita yakin pacuan kuda ini juga merupakan alek anak nagari menumbuhkan kreatifitas dan mengembangkan jalinan silaturrahim yang erat,” ujar seorang tokoh masyarakat di Kota Serambi Mekkah tersebut.

Beliau berharap Bancah Laweh ini agar ditata lebih baik, sehingga lapangan yang indah ini menjadi simbul pemersatu masyarakat di daerah ini. Pemangku kepentingan di Padang Panjang mesti memikirkan dari sekarang tentang bagaimana baiknya sebuah lapangan olahraga pacuan kuda yang berskala nasional ataupun internasional.

Dengan membangun olahraga yang berbasis pariwisata minat khusus, mengembalikan Bancah Laweh sebagai sebuah destinasi wisata minat khusus tentunya akan memberikan dampak positif bagi perkembangan dan kemajuan Kota Padang Panjang. Semoga hal ini menjadi perhatian serius seluruh stakeholder di Kota berhawa sejuk tersebut.

Dan bisa jadi kisah romantis antara Hayati dan Zainudin yang tergambar dalam novel " Tenggelamnya Kapal Van der Wijck " bisa terulang kembali dalam versi yang baru. Semoga ! Makin tahu Indonesia. (Budi) 
×
Kaba Nan Baru Update