Pasbana - Mari kita mulai dengan sebuah adegan yang mungkin terasa akrab: anak remaja duduk di pojok ruang tamu, minta top up game. Ibu sedang scroll Tokopedia, keranjang belanja penuh, tapi saldo dompet digital menipis. Ayah? Sedang putar otak karena notifikasi cicilan paylater berdenting nyaring. Semua ini terjadi dalam satu rumah. Satu keluarga. Satu generasi: Zilenial.
Zilenial—generasi lintas batas antara milenial dan Gen Z—adalah makhluk tangguh yang tumbuh di dua zaman. Mereka pernah mengalami romantika ke mall demi beli baju Lebaran, tapi kini tinggal klik-klik ponsel, barang langsung meluncur ke rumah. Kalau dulu, belanja harus ada uang tunai. Sekarang? Cukup punya kuota internet dan aplikasi, semua selesai dalam dua detik.
Namun, di balik kemudahan itu, ada bahaya yang tak kalah cepat: impulsif, konsumtif, dan... jebakan paylater yang bikin kepala muter.
Teknologi Canggih, Tapi Apakah Kita Cukup Waras?
Kemudahan digital memang menghipnotis. Mau makan? Bisa delivery. Mau belanja? Ada diskon mid-year. Gaji belum masuk? Tenang, bisa cicil. Masalahnya, di balik semua kemudahan itu, tersembunyi algoritma yang lebih jago memetakan keinginan kita dibandingkan kita sendiri. Belum sempat mikir, barang sudah dibayar. Besoknya? Menyesal. Lusa? Tagihan datang. Bulan depan? Minjam lagi. Lingkaran setan ini nyata.
Menurut survei Populix, 86% konsumen digital di Indonesia pernah belanja impulsif. Yang bikin ngeri: banyak di antara mereka tidak benar-benar tahu apa yang dibelinya—yang penting "promo-nya hari ini doang". Padahal, tidak ada kata “darurat” untuk beli humidifier lucu bergambar kucing.
Saatnya Balik ke Rumah: Dompet Anak Ditentukan Sikap Orang Tua
Inilah momen reflektif untuk para Zilenial dewasa, yang kini sudah menjadi orang tua. Jika kita tak ingin anak-anak kita tumbuh dengan logika “asal bisa dicicil, berarti mampu beli”, maka rumah harus menjadi madrasah pertama literasi keuangan.
Tenang, tak perlu gelar master ekonomi. Cukup ajarkan anak untuk mencatat pengeluaran jajannya, beri tugas kecil mengatur uang saku, atau ajak diskusi soal rencana beli sepeda. Semua itu jauh lebih bermakna ketimbang membiarkan mereka belajar dari TikTok soal "cara dapat uang instan dari crypto abal-abal".
Di era digital, kita tidak bisa melarang teknologi. Tapi kita bisa menyiapkan anak-anak menghadapi badai notifikasi dan tsunami diskon. Gunakan aplikasi pencatatan keuangan, ajak anak menonton kanal edukasi keuangan di YouTube, atau ikut kelas daring gratis dari OJK. Teknologi tidak harus jadi musuh, asal kita tahu cara pakainya.
Jangan Biarkan Algoritma yang Mendidik Anak Kita
Zilenial hidup dalam tekanan: gaji stagnan, kerja keras tak dihargai, dan beban sosial makin tinggi. Banyak yang akhirnya mencari pelarian dalam belanja impulsif, ikut arisan bodong, hingga terjebak pinjol ilegal. Tapi hal ini bisa dicegah kalau sejak kecil mereka dikenalkan pada satu prinsip sederhana: bedakan antara ingin dan butuh.
Agar tidak ada lagi rumah tangga yang runtuh karena beli iPhone terbaru lewat pinjaman online bunga 30%, kita butuh perubahan cara pandang. Bahwa mengelola keuangan itu bukan urusan orang kaya saja, melainkan keterampilan hidup dasar—seperti berenang atau masak nasi.
Mengelola Uang Itu Keterampilan Emosional
Dalam rumah, literasi keuangan seharusnya menjadi kebiasaan, bukan cuma wacana. Diskusi soal uang harus dibuka, bukan ditutup rapat-rapat karena “nanti anak jadi matre”. Justru dari obrolan sederhana itulah anak belajar bahwa uang tidak tumbuh di pohon, dan bukan semua keinginan harus dikabulkan. Kadang, menunggu itu baik. Menunda beli sneakers bisa jadi pelajaran kesabaran, bukan bentuk penindasan.
Investasi Terbaik Adalah Anak yang Melek Finansial
Teknologi akan terus berubah. Aplikasi akan datang dan pergi. Tapi satu hal yang tak akan lekang: pentingnya orang tua sebagai role model keuangan bagi anak-anak mereka.
Jadi, daripada sibuk mencari “cara cepat kaya tanpa modal”, lebih baik kita latih anak-anak kita cara hidup berkecukupan tanpa harus berutang. Rumah yang penuh cinta dan pengelolaan keuangan yang bijak adalah bekal terbaik agar generasi selanjutnya tak sekadar melek digital, tapi juga waras finansial.
Dan kalau suatu hari nanti mereka bertanya, “Kenapa dulu Ibu nggak pernah cicil iPhone pakai paylater?”—kita bisa jawab dengan tenang, “Karena Ibu memilih masa depan kalian daripada diskon flash sale yang hanya bertahan lima menit.”
#ZilenialCerdas #DompetJugaPerluDididik #FinansialWarasDigitalCerdas