“Tagak-tagun nan indak lamak, ukua jo jangko nan ndak tepat, indak akan jadi garak-garik, apolagi mandaki raso-pareso.”
“Tagak-tagun nan indak lamak, ukua jo jangko nan ndak tepat, indak akan jadi garak-garik, apolagi mandaki raso-pareso.”
(Tegak yang tak mantap, ukuran yang tak pas, takkan melahirkan gerak yang tajam, apalagi menyentuh rasa dan jiwa.)
Pasbana - Di tanah ranah Minang yang kaya petatah-petitih, tempat nasi lamak disandingkan dengan adat nan lembut, berdiri kokoh satu tradisi seni yang tak hanya memanjakan mata, tapi juga menggetarkan jiwa—Tari Rantak namanya.
Jangan bayangkan tari ini lembut berayun seperti daun dilambai angin. Tidak. Tari Rantak itu seperti gelombang di Pesisir Selatan—tajam, lantang, tapi mengandung ritme yang dalam. Setiap hentakan kaki penari seolah berkata, “Urang awak ado di siko!”
Jejak Silat dalam Setiap Rantakan
Tari Rantak bukan hanya soal tarian. Ia anak kandung dari silat—lebih tepatnya dari silek Minangkabau—yang telah lama jadi napas kehidupan di nagari-nagari.Setiap geraknya diambil dari langkah silat, ditajamkan dengan unsur estetika dan ditaburi rasa. Tapi jangan salah, ini bukan silat yang beringas. Ini silat yang bersolek, bersajak lewat gerakan.
Ada dua varian utama yang dikenal luas:
• Tari Rantak Kudo dari Nagari Lumpo, Pesisir Selatan—konon katanya, lahir dari denyut langkah kuda yang ditunggangi pendekar kampuang.
• Tari Rantak Kudo dari Nagari Lumpo, Pesisir Selatan—konon katanya, lahir dari denyut langkah kuda yang ditunggangi pendekar kampuang.
• Tari Rantak karya Gusmiati Suid—yang oleh banyak orang disebut sebagai Bundo Pemangku Pencak. Beliau tak hanya menari, tapi menggali makna dari setiap langkah. Bundo Gusmiati selalu percaya: pamenan nan indah, harus lahir dari pancak nan paham.
• Tagak-Tagun: Berdiri Bukan Sembarangan
Dalam dunia rantak, berdiri tak sekadar berdiri. Dalam istilah Minang, tagak-tagun itu ibarat anak dara nan malu-malu tapi tahu arah.
Tagak berarti siap, tagun artinya jeda sejenak untuk mengukur diri. Sebelum penari menggerakkan tubuh, ia “mengukur dalam” terlebih dulu. Kalau belum mantap berdiri, bagaimana bisa menari?
• Ukua jo Jangko: Gerak Nan Takarannya Pas
Istilah ini ibarat tukang ukur tanah: harus tepat, jangan ngarang. Gerak penari dalam rantak mesti sesuai ukuran, pas di tempat dan waktunya. Kalau terlalu berlebihan, tarian malah jadi tabiang urang sasak, kalau terlalu hati-hati bisa-bisa kayak anak mudo nan salalu manyo—ragu melangkah.
• Pandang Kutiko: Bukan Sekadar Melihat
Dalam rantak, melihat itu harus pakai hati. Pandang artinya pemahaman, kutiko artinya momen yang pas. Penari harus tahu kapan harus menggertak dan kapan harus mendayu.
Bukan asal goyang, tapi menari dengan kesadaran penuh—ibarat induk ayam manaruko anak, tahu kapan harus sigap, kapan harus lembut.
• Garak-Garik: Rasa dan Gerak Sejalan
Kata orang tua-tua Minang, kalau garak tak diiringi garik, itu bukan tari, tapi maningkek lapiak. Garak (firasat) adalah kepekaan batin, sedangkan garik (gerak) adalah ekspresi fisik. Kalau dua ini bertemu, jadilah gerakan yang tak cuma indah tapi menggetarkan, bikin penonton batang hati manurun ka dapek.
• Raso jo Pareso: Filosofi Hidup dalam Tari
Nah, inilah puncaknya. Rantak itu bukan cuma tentang kaki yang menghentak, tapi tentang rasa dan koreksi diri. Raso adalah perasaan, pareso adalah penilaian.
Nah, inilah puncaknya. Rantak itu bukan cuma tentang kaki yang menghentak, tapi tentang rasa dan koreksi diri. Raso adalah perasaan, pareso adalah penilaian.
Penari mesti menari dengan hati, bukan hanya otot. Seperti kata pepatah: “Kalau rasa dibawa naik, periksa dibawa turun, baru jalan lurus nan akan ditempuh.”
Dari Nagari ke Panggung Dunia
Dulu, Tari Rantak Kudo hanyalah warisan di kaki bukit Lumpo. Dipertontonkan saat alek nagari, iringi pesta, atau sekadar untuk hiburan anak nagari. Kini, dengan warna-warni busana merah, kuning, atau oranye, hentakan kaki para penari telah menembus panggung-panggung nasional bahkan internasional.Namun, apa yang tetap tinggal? Bukan hanya gerakan, tapi semangat. Semangat bahwa seni Minang tak mati, tak lapuk dimakan waktu. Ia terus berkembang, beradaptasi, namun tetap berakar kuat.
Alek Nan Tak Tumbuak Gasan Anak Mudo
Tari Rantak hari ini bukan sekadar penampilan di panggung, tapi juga bahan ajar di sekolah-sekolah seni, menjadi konten Tiktok yang dibalut modernisasi, hingga jadi terapi ekspresi diri di komunitas remaja Minang.Budaya ini telah bertransformasi. Ia tak sekadar dilestarikan, tapi terus “dipamanehkan”—dipanaskan, dikembangkan. Anak muda kini tak malu menari rantak. Bahkan, lewat hentakan kaki mereka, budaya Minang menjejak dunia.
Tari Rantak, Napas dan Nafas Minang
Tari Rantak mengajarkan kita banyak hal: bahwa kekuatan harus dilandasi ketepatan, bahwa gerak harus diiringi rasa. Bahwa dalam setiap seni, ada jati diri yang tak boleh mati. Ia bukan sekadar warisan, tapi tambo nan bisa dijadikan cermin diri.“Alang-alang basamo tagak, kok tumbuah indak tapijak, kok lah tagak indak galapua.”
(Lebih baik berdiri bersama meski sulit, dari pada tumbuh tapi tak punya pijakan.)
Jadi, masihkah kita mengira budaya itu barang lama? Atau jangan-jangan kita yang mulai lupa dimano galang dipasang, di situ tagak ditunjukkan. Makin tahu Indonesia. (*)