Ketika niat suci bertemu realita pelik regulasi dan lemahnya pengawasan, haji furoda tahun ini kembali menjadi cerita pilu bagi ribuan WNI.
Pasbana – Bayangkan Anda telah menabung puluhan tahun, menjual aset, bahkan menggadaikan masa depan demi satu impian: menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Semua terasa begitu dekat, tiket ditangan, koper siap di pintu.
Tapi, pada detik terakhir, visa tak kunjung turun. Dan mimpi itu pun buyar.
Itulah yang dirasakan ribuan calon jemaah haji Indonesia yang mendaftar melalui jalur haji furoda. Tahun ini, mereka terpaksa gigit jari karena visa mujamalah—dokumen sakti yang memungkinkan berangkat haji tanpa antrean panjang—tak kunjung diterbitkan oleh Pemerintah Arab Saudi.
Apa Itu Haji Furoda?
Haji furoda merupakan jalur khusus yang memungkinkan warga negara Indonesia menunaikan ibadah haji di luar kuota resmi pemerintah, menggunakan undangan atau rekomendasi langsung dari otoritas Arab Saudi (visa mujamalah).Berbeda dengan haji reguler yang harus antre hingga puluhan tahun, furoda menawarkan solusi instan—tentu dengan harga fantastis: mulai dari Rp300 juta hingga Rp900 juta, tergantung paket dan fasilitas yang ditawarkan agen travel.
Namun, meskipun proses ini legal dan diakui, banyak celah dalam sistem yang membuat jemaah justru terjebak dalam ketidakpastian.
Visa Tak Turun, Ratusan Miliaran Melayang?
Berdasarkan laporan Forum Silahturahmi Asosiasi Penyelenggara Umrah dan Haji (Forum SAPUHI), lebih dari 3.000 calon jemaah furoda gagal berangkat tahun ini.Jika dihitung kasar, potensi kerugian yang mereka alami bisa mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Agen travel yang menjanjikan "berangkat tahun ini juga", ternyata terlalu dini memungut biaya dari calon jemaah—bahkan sebelum visa benar-benar diterbitkan.
Agen travel yang menjanjikan "berangkat tahun ini juga", ternyata terlalu dini memungut biaya dari calon jemaah—bahkan sebelum visa benar-benar diterbitkan.
Padahal, penerbitan visa furoda sepenuhnya merupakan hak prerogatif Kerajaan Arab Saudi dan tidak bisa dipastikan waktunya.
Di Mana Peran Negara?
Polemik ini menjadi sorotan karena menyentil pertanyaan besar: sejauh mana perlindungan negara terhadap warganya yang ingin berhaji?Menurut pengamat haji dan umrah, Ust. Muchsin Alatas, pemerintah seharusnya lebih tegas dalam mengawasi agen travel dan membuat regulasi yang melarang pemungutan dana sebelum visa keluar.
"Negara harus hadir, jangan hanya menyerahkan semuanya ke mekanisme pasar. Ibadah ini sakral dan menyangkut dana besar masyarakat," kata Muchsin, Kamis (5/6).
Masalah Lama, Terulang Lagi
Kisah haji furoda hanyalah potret kecil dari carut-marut pengelolaan ibadah haji di Indonesia. Hingga kini, masa tunggu haji reguler bisa mencapai 30 hingga 45 tahun, tergantung provinsi.
Data Kemenag menunjukkan, antrean terpanjang terjadi di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Akibatnya, banyak calon jemaah yang baru bisa berangkat di usia senja. Di tahun 2023 saja, lebih dari 700 jemaah Indonesia wafat di Tanah Suci, sebagian besar karena usia lanjut dan kelelahan.
Digitalisasi layanan haji memang sudah dilakukan, tapi masih belum merata. Aplikasi Pusaka dan Haji Pintar dari Kementerian Agama belum sepenuhnya dioptimalkan di berbagai daerah. Selain itu, urusan logistik dan transportasi jemaah di Arab Saudi juga masih sering jadi keluhan.
Perlu Reformasi Menyeluruh
Sudah waktunya pemerintah menata ulang sistem perhajian nasional. Beberapa hal mendesak antara lain:• Membuat aturan larangan keras bagi travel memungut dana sebelum visa mujamalah terbit.
• Transparansi sistem kuota dan distribusi haji reguler.
Peningkatan kualitas layanan digital dan edukasi haji berbasis teknologi.
• Pemberdayaan pengawasan lintas lembaga, termasuk OJK jika melibatkan transaksi besar.
Jangan Ulangi Luka yang Sama
Bagi masyarakat, kisah gagalnya haji furoda tahun ini bukan hanya soal batalnya perjalanan. Tapi juga tentang hilangnya kepercayaan dan luka finansial yang tak ringan.Semestinya, impian menuju Baitullah tak perlu dibayangi ketakutan akan gagal berangkat.
Ibadah haji adalah panggilan suci, dan sudah semestinya dijaga dengan sistem yang aman, transparan, dan berpihak pada umat.
Ibadah haji adalah panggilan suci, dan sudah semestinya dijaga dengan sistem yang aman, transparan, dan berpihak pada umat.
(*)