Pasbana - Saya masih ingat jelas raut wajah ibu saya saat pertama kali kami pindah ke rumah baru di pinggiran kota—sebuah rumah subsidi di tahun 2005. Rumah itu tak besar, hanya 36 meter persegi.
Tapi ada halaman mungil tempat ayah bisa menanam cabai dan ibu menjemur pakaian. Di dalam, dua kamar sempit cukup untuk lima orang, dengan dapur seadanya di ujung ruangan. Bukan rumah impian, tapi rumah itu memberi kami rasa aman. Rasa punya tempat pulang.
Dua dekade berlalu. Ukuran rumah subsidi ternyata tak hanya stagnan—tapi kini kian menyusut.
Dalam draf terbaru Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), rumah subsidi untuk rakyat kecil rencananya akan diperkecil jadi hanya 18 meter persegi. Luas tanahnya pun ikut menyusut, tinggal 25 meter persegi. Lebih kecil dari garasi mobil di rumah-rumah kelas menengah.
“Ini bukan rumah, ini kotak tidur,” celetuk teman saya, seorang arsitek muda, ketika membaca berita itu.
Ia tak sedang bercanda. Rumah seukuran itu nyaris tak memberi ruang untuk tumbuh.
Bagi sebagian orang, rumah adalah simbol pencapaian ekonomi. Tapi bagi jutaan warga berpenghasilan rendah, rumah adalah bentuk paling sederhana dari martabat. Sebuah hak dasar yang semestinya dijamin negara, bukan dikompromikan.
Pemerintah berdalih bahwa keputusan ini diambil karena keterbatasan lahan dan harga tanah yang melambung di kota-kota besar. Dengan lahan makin langka, katanya, rumah kecil adalah solusi. Tapi benarkah sesederhana itu?
Saya mencoba membayangkan keluarga kecil dengan dua anak tinggal di ruang 18 meter persegi.
Makan, tidur, belajar, dan bersantai dilakukan di tempat yang sama. Tak ada ruang privasi. Tak ada sirkulasi udara yang layak. Tak ada ruang untuk bermimpi. Bahkan tikar pun bisa terasa terlalu besar untuk digelar.
Di negara lain, rumah mungil atau tiny house memang tengah populer. Tapi perbedaan mendasarnya adalah: tiny house di Eropa atau Jepang bukan produk keterpaksaan, melainkan gaya hidup terencana.
Mereka memiliki infrastruktur pendukung, akses transportasi, taman kota, sanitasi memadai, dan kebijakan yang berpihak pada manusia.
Sedangkan di sini, rumah kecil adalah jalan pintas dari kebijakan yang gagal menyelesaikan akar masalah: ketimpangan penguasaan lahan.
Tanah-tanah produktif banyak dikuasai segelintir elite atau korporasi besar.
Reforma agraria yang dijanjikan bertahun-tahun tak kunjung rampung. Maka rakyat kecil kembali harus menggigit jari—dipaksa memilih antara tidak punya rumah atau menerima “kandang” mungil sebagai tempat tinggal.
Di sisi lain, angka backlog atau kekurangan rumah di Indonesia masih menyentuh 12,7 juta unit per 2023 (BPS). Padahal pemerintah telah mengguyur triliunan rupiah dalam skema KPR FLPP untuk rumah subsidi.
Tapi, rumah-rumah itu seringkali dibangun jauh dari pusat kota, dengan kualitas bangunan minim dan infrastruktur terbatas.
Saya percaya bahwa rumah bukan hanya urusan meter persegi. Rumah adalah ruang hidup. Tempat manusia belajar mencintai, menyusun harapan, dan membesarkan keluarga. Ia bukan sekadar bangunan fisik, tapi ekosistem kehidupan yang manusiawi.
Dan jika negara benar-benar ingin menjawab persoalan perumahan, solusinya bukan dengan mengerdilkan rumah, tapi dengan membesarkan keberpihakan. Membangun kota yang inklusif. Menyediakan transportasi publik yang layak.
Dan yang terpenting: menjadikan manusia sebagai pusat dari kebijakan, bukan sekadar angka dalam tabel statistik.
Karena tidak ada yang lebih menyakitkan selain tinggal di rumah yang dibangun dari niat baik, tapi lupa pada martabat penghuninya.(Redaksi)