![]() |
Foto. Dok.PusakoNews |
Dari daun dan akar hingga kata-kata penuh getaran spiritual, mantra atau manto dalam budaya Minangkabau bukan sekadar warisan magis — ia adalah cerita tentang keyakinan, kearifan lokal, dan pertemuan antara dunia nyata dan gaib.
Tak hanya sekadar kalimat magis, manto adalah jembatan antara manusia dan alam, antara harapan dan kekuatan tak kasatmata.
Dalam keseharian masyarakat Minangkabau, mantra bukan hal asing. Ia bukan pula cerita horor murahan, melainkan warisan sastra lisan yang mengandung nilai-nilai spiritual, budaya, dan bahkan filosofis.
Dalam bahasa setempat, kata manto memiliki dua arti: bisa merujuk pada bahan ramuan seperti daun dan akar, atau pada ucapan seorang dukun dalam proses penyembuhan maupun perlindungan diri.
Dukun, Mistisisme, dan Jalan Menuju Tuhan
Bukan sembarang orang bisa mengucapkan manto. Seorang pemantra harus melalui perjalanan spiritual yang tidak mudah. Dalam tradisi Minangkabau, pemantra sejati adalah mereka yang suci batinnya dan menyatu dalam laku mistik. Prosesnya bertingkat: dari syariat, tarekat, hakikat, hingga makrifat — empat jenjang spiritual dalam tasawuf yang menuntun seseorang menuju Tuhan.
Uniknya, tidak semua mantra dibuat untuk hal baik. Ada yang digunakan untuk mengobati, ada pula yang ditujukan untuk mencelakai. Seorang pemantra bisa mengucap mantra demi menyembuhkan sakit gigi atau mengusir roh jahat, tapi bisa juga untuk membuat lawan bisnis sakit, atau menarik cinta orang yang diidamkan.
Mantra yang Menyatu dengan Islam
Meski akar manto berasal dari kepercayaan lokal sebelum datangnya Islam, keberadaannya tidak serta-merta ditolak ketika agama masuk ke Ranah Minang. Sebaliknya, terjadi proses adaptasi. Jika dulu pemanggilan roh gaib menggunakan sapaan seperti si Buyuang atau Putri Nurgaini, kini muncul diksi baru yang religius seperti assalamu’alaikum atau basyirul mu’minin.
Menurut teori intertekstualitas dari Halliday (1994), teks mantra Minangkabau menunjukkan keterkaitan erat antara teks lama (pra-Islam) dan teks baru (pasca-Islam). Perubahan makna, gaya bahasa, hingga pilihan kata menunjukkan pergeseran dari yang bersifat animistik ke arah religius dan terapeutik.
Bukan Sekadar Ilmu Hitam: Jenis-Jenis Mantra Minang
Masyarakat Minangkabau mengenal berbagai jenis mantra, masing-masing dengan fungsinya:Mantra Pengobatan: Untuk sakit kepala, patah tulang, atau kerasukan.
Mantra Pertahanan: Penangkal racun, bisa ular, hingga senjata tajam.
Mantra Petaka: Digunakan untuk menyakiti atau mencelakai orang lain. Di sinilah muncul istilah seperti gayuang dan busuang.
Mantra Perkasih: Untuk menarik lawan jenis atau melariskan dagangan.
Mantra Permainan: Misalnya lukah gilo, pertunjukan yang sering muncul di festival budaya dan menampilkan kekuatan mistik yang dimainkan secara kolektif.
Bahasa, Bunyi, dan Kekuatan Kata
Mantra Minangkabau sarat akan metafora. Ungkapan seperti tuju ruyuang atau si jundai tidak bisa dimaknai secara harfiah. Ia adalah simbol dari kekuatan tertentu, yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berguru. Proses ini penting, karena penggunaan mantra sembarangan bisa berdampak negatif.
Penggunaan bunyi seperti “hu hu hu” atau “hah…hong…ya…” bukan sekadar estetika. Dalam banyak kasus, ekspresi ini menjadi cara untuk memanggil makhluk gaib atau menunjukkan kepasrahan spiritual. Bahkan gaya bahasa yang digunakan pun unik — banyak memakai personifikasi, hiperbola, dan repetisi yang membuat mantra terasa menggema dan sakral.
Pewarisan yang Terancam
Sayangnya, hari ini kita mulai kehilangan generasi pemantra. Mayoritas pemilik ilmu ini adalah laki-laki berusia di atas 40 tahun. Anak muda dianggap belum cukup bijak untuk memikul tanggung jawab besar tersebut. Kekhawatiran akan penyalahgunaan mantra membuat banyak guru enggan mewariskannya secara terbuka.
Padahal menurut Budayawan Dr. Zuriati Idris dari Universitas Negeri Padang, manto merupakan warisan identitas budaya yang seharusnya dilestarikan melalui pendekatan edukatif dan spiritual, bukan ditinggalkan karena takut mistik.
Manto Sebagai Cermin Peradaban
Manto bukan sekadar mantra. Ia adalah cermin peradaban Minangkabau — bagaimana masyarakatnya memahami dunia, menyatu dengan alam, menjalani kehidupan spiritual, dan menghadapi tantangan zaman.
Di tengah gelombang modernisasi, mantra ini mengingatkan kita bahwa dalam kata-kata, tersimpan kekuatan. Kekuatan untuk menyembuhkan, menjaga, bahkan sekadar menjadi pengingat bahwa manusia adalah makhluk spiritual, bukan sekadar jasmani.
Jika ingin mengenali Minangkabau lebih dalam, mulailah dengan mendengarkan manto. Sebab di balik setiap bisikan lirihnya, tersimpan cerita ribuan tahun yang belum selesai diceritakan. Makin tahu Indonesia.(*)