Kayu Tanam, pasbana - Di tengah hijaunya Lembah Anai, di jalur yang menghubungkan Kayu Tanam dan Padang Panjang, terselip sebuah nama yang tak hanya memicu rasa penasaran, tapi juga membuat bulu kuduk berdiri: Bukit Tambun Tulang.
Mendengar namanya saja, kita seolah diseret masuk ke lorong waktu yang penuh misteri dan darah. Konon katanya, bukit ini dulunya menjadi tempat yang paling ditakuti oleh para perantau dari pesisir yang hendak menuju pusat Minangkabau.
Mereka harus melewati jalur berat—naik turun bukit, melintasi hutan lebat—dan di situlah, nasib malang sering menyapa.
Bukit Tambun Tulang dikisahkan sebagai tempat penyergapan, perampokan, hingga pembunuhan massal. Korban-korbannya? Orang-orang biasa yang hanya ingin mencapai ranah Minang nan tengah.
Mereka dirampok, dibunuh, dan jasadnya dikubur begitu saja. Tak heran jika nama “Tambun Tulang” kemudian melekat: tempat yang ditimbun tulang-belulang manusia.
Antara Fakta dan Mitos
Sampai hari ini, belum ada riset arkeologi resmi yang membuktikan keberadaan tumpukan tulang di sana. Tapi jangan salah, cerita ini bukan hanya dongeng yang diceritakan dari mulut ke mulut.
Masyarakat sekitar percaya kuat akan kisah ini—seperti warisan yang tertanam dalam memori kolektif mereka.
"Bapak saya dulu pernah bilang, kalau gali tanah di sana, bisa ketemu tulang," ujar Pak Idris, 63 tahun, warga Kayu Tanam yang mengaku sudah puluhan tahun mendengar kisah ini dari orang-orang tua terdahulu. Bahkan, menurutnya, beberapa pekerja proyek jalan sempat mengaku menemukan fragmen tulang saat menggali area tersebut.
Namun, menurut arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Barat, belum pernah dilakukan penggalian sistematis atau ekskavasi arkeologi di kawasan yang disebut sebagai Bukit Tambun Tulang. Tapi cerita rakyat seperti adalah warisan penting yang bisa jadi petunjuk jejak sejarah.
Dari Novel hingga Legenda Urban
Penulis Makmur Hendrik, misalnya, menjadikan bukit ini sebagai latar dalam novel legendarisnya Giring-Giring Perak, sebuah kisah penuh intrik dan petualangan.
Tak ketinggalan, penggemar silat pasti mengenal tokoh Wiro Sableng karya Bastian Tito. Dalam salah satu novelnya berjudul Banjir Darah di Tambun Tulang, sang pendekar 212 menghadapi kekejian dan misteri dari bukit tersebut.
Nama “Tambun Tulang” bahkan menjadi semacam metafora untuk kengerian, tempat penuh luka sejarah yang belum sembuh, meski mungkin sebagian hanya buah imajinasi.
Bukit yang Terlupakan?
"Ini potensi besar untuk wisata sejarah atau budaya, tapi belum tergarap sama sekali," kata Yunita Marlina, peneliti budaya dari Universitas Andalas. Ia menambahkan bahwa legenda seperti Tambun Tulang adalah peluang untuk menggali identitas lokal, selama pendekatannya dilakukan secara kritis dan ilmiah.
Menjaga Warisan Cerita
Mungkin tidak semua cerita rakyat bisa dibuktikan secara ilmiah, tapi ia punya peran penting: menjaga memori, membentuk identitas, dan menyatukan komunitas lewat kisah bersama.
Dan bukit itu, masih ada di sana. Sunyi, hijau, menyimpan kisah—apakah ia benar-benar ditimbun tulang, atau hanya ditimbun oleh imajinasi kolektif masyarakat Minangkabau, itu tetap menjadi misteri yang menarik untuk ditelusuri. Makin tahu Indonesia.(*)