Notification

×

Iklan

Iklan

Menhir Guguk: Jejak Megalitik dan Warisan Leluhur di Punggung Bukit Sumatera Barat

13 Juni 2025 | 11:07 WIB Last Updated 2025-06-13T04:07:57Z



Limapuluh Kota, pasbana - Di tengah perbukitan Kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, berdiri tegak batu-batu menhir yang telah bertahan lebih dari 1.500 tahun. 

Bukan sekadar batu, menhir ini adalah saksi bisu dari peradaban megalitik yang menghormati arwah leluhur dan menyucikan gunung sebagai lambang kehidupan spiritual masyarakat. Hingga hari ini, jejak budaya itu belum benar-benar padam.

Menguak Tabir Menhir: Warisan Megalitik yang Terlupakan

Sumatera Barat tidak hanya dikenal lewat kisah epik Minangkabau atau megahnya Istano Basa Pagaruyung, tetapi juga menyimpan warisan arkeologis berusia ribuan tahun: menhir. 

Di antara kabupaten-kabupaten yang memiliki tinggalan megalitik, Kabupaten Lima Puluh Kota menyimpan jumlah menhir terbanyak, khususnya di Kecamatan Guguk

Menhir-menhir ini tak hanya berdiri sebagai benda purbakala, tetapi memuat nilai sakral yang menautkan manusia dengan alam dan roh leluhur.

Penelitian arkeologi menunjukkan bahwa menhir di wilayah ini muncul sekitar 1.500 tahun lalu, tepatnya pada awal abad Masehi (Soejono, R.P., Prehistoric Indonesia, 1984). Menhir yang didirikan di atas perbukitan dengan ketinggian 210–540 meter di atas permukaan laut menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu memberi tempat istimewa kepada lokasi-lokasi tinggi sebagai simbol penghormatan terhadap alam dan para leluhur.

Gunung Sago dan Arah Menhir: Simbol Kesucian Kosmis


Menariknya, sebagian besar menhir di Lima Puluh Kota, termasuk di Guguk, menghadap ke arah Gunung Sago, seolah memberi hormat kepada puncak yang dianggap suci. Secara etimologis, kata Sago diyakini berasal dari saugo, yang berarti surga atau tempat suci dalam bahasa lokal (Rusli Amran, Sumatera Barat: Pluralitas dan Budaya, 2003). 




Arah hadap ini menguatkan dugaan bahwa gunung dipandang sebagai tempat tinggal roh nenek moyang atau pusat spiritual masyarakat megalitik.

Sebagaimana dikemukakan oleh arkeolog Indonesia, Dr. Harry Truman Simanjuntak, “Gunung dalam kebudayaan megalitik adalah simbol pusat dunia, axis mundi, yang menghubungkan langit dan bumi, manusia dan dewa.” (Jurnal Arkeologi Indonesia, 2007).

Guguk: Perbukitan dan Ingatan Leluhur


Kecamatan Guguk, yang terletak sekitar 12 km dari Payakumbuh, menyimpan menhir dalam jumlah signifikan. 

Di Nagari Sungai Talang saja, terdapat empat situs utama yang telah diinventarisasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat tahun 2016, yaitu:
Situs Menhir Sungai Talang I
Situs Menhir Sungai Talang II
Situs Menhir Sungai Talang III
Situs Menhir Sungai Talang IV

Secara keseluruhan, ditemukan 48 menhir dan satu lumpang batu besar di situs-situs tersebut. Lumpang batu ini diyakini dulunya digunakan dalam upacara adat atau sebagai alat ritual, bukan semata alat rumah tangga biasa.

Menariknya, beberapa menhir masih berada insitu (di tempat asalnya), sedangkan lainnya telah dipindahkan untuk konservasi. Proses pemugaran pada tahun 1988 oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (kini Dinas Kebudayaan) menjadi tonggak penting dalam pelestarian situs-situs ini. Dalam penggalian kala itu, ditemukan pula kerangka manusia berusia ±200 tahun, memperkuat dugaan bahwa menhir ini memang menandai lokasi pemakaman kuno.

Dari Batu Mejan hingga Upacara Batanam Batu


Bagi masyarakat setempat, menhir bukan sekadar artefak mati. Mereka menyebutnya batu mejan (mejen), batu yang ditanam di atas kuburan. Tradisi batanam batu, yakni meletakkan batu di atas makam dengan upacara adat, masih bertahan hingga kini—meski batu yang digunakan jauh lebih kecil dari menhir zaman megalitik.

Menariknya, tidak ada yang tahu pasti kapan tradisi ini bermula. Namun kesinambungan praktik tersebut memberi bukti kuat bahwa warisan budaya tidak selalu hadir dalam bentuk yang sama, melainkan bertransformasi sesuai zaman.

Situs Sejarah, Edukasi, dan Wisata Budaya

Situs menhir di Guguk kini bukan hanya jejak arkeologi, tetapi juga telah dimanfaatkan sebagai lokasi edukatif bagi pelajar, mahasiswa, dan peneliti sejarah. Beberapa nagari, seperti Sungai Talang, bahkan mulai menjadikan situs-situs ini sebagai destinasi wisata budaya. Sayangnya, masih sedikit perhatian serius dari sektor pariwisata dan pelestarian budaya dalam memaksimalkan potensi ini.

Seperti dikemukakan Dr. Bambang Budi Utomo, peneliti senior di Pusat Arkeologi Nasional, “Pelestarian situs megalitik bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga harus menjadi gerakan kolektif masyarakat.” (Kompas, 2019).

Refleksi: Menhir, Ingatan, dan Jati Diri Budaya

Di era digital ini, ketika interaksi manusia dengan tanah leluhurnya kian renggang, menhir menawarkan sesuatu yang tak lekang oleh waktu: pengingat akan asal-usul dan hubungan spiritual manusia dengan alam serta leluhur. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara batu dan makna.

Menhir di Guguk bukan hanya tinggalan purbakala—ia adalah bagian dari narasi besar tentang bagaimana sebuah komunitas memahami hidup, mati, dan hubungan sakral antara manusia dan semesta. Jika batu bisa bicara, mungkin ia akan berkata: “Kami berdiri bukan sekadar karena tangan nenek moyang, tetapi karena makna yang tak boleh dilupakan.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update