![]() |
Foto. Ai |
Pasbana - Dari Sumatera Barat hingga Negeri Sembilan, budaya Minang bukan sekadar warisan leluhur—ia adalah napas hidup yang terus berdetak di mana pun orang Minang berpijak.
"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."
Bagi orang Minang, pepatah itu bukan sekadar ungkapan—ia menjadi pedoman hidup. Filosofi "merantau" yang melekat kuat dalam budaya Minangkabau membuat anak-anaknya menyebar ke berbagai penjuru negeri, bahkan hingga ke luar Indonesia.
Namun, satu hal yang tak pernah mereka tinggalkan adalah adat dan budaya.
Dari Sumatera Barat, denyut budaya Minang menyebar bagai riak air ke berbagai daerah. Di Kampar (Riau), Aceh Selatan, hingga pesisir Mandailing Natal (Sumatera Utara), kita bisa melihat bagaimana tradisi Minang tetap hidup—meski telah berbaur dengan budaya lokal.
Mulai dari penggunaan bahasa, bentuk rumah, hingga adat pernikahan, jejak-jejak Minangkabau tetap terasa hangat dan nyata.
Negeri Sembilan: Serumpun yang Menjaga Warisan
Sistem Adat Perpatih, yang berasal dari Minangkabau, masih dipraktikkan di sana—sebuah sistem kekerabatan matrilineal yang unik, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ibu.
Bahkan jabatan pemimpin adat seperti Undang dan Dato' Lembaga masih eksis dan berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat Negeri Sembilan hingga kini.
Menurut peneliti budaya Minangkabau, Dr. Mestika Zed, Adat Perpatih di Negeri Sembilan merupakan salah satu bukti nyata bagaimana budaya Minang bisa bertransformasi dan bertahan di luar kampung halamannya tanpa kehilangan jati diri.
Rokan Hulu & Kuantan Singingi: Garis Batas Boleh Ada, Tapi Budaya Tak Terputus
Sebuah riset oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang mencatat bahwa lebih dari 60 persen struktur adat dan bahasa yang digunakan di daerah ini memiliki kesamaan dengan yang berlaku di Luhak nan Tigo (Tanah Datar, Agam, dan Limapuluh Kota)—jantung budaya Minangkabau.
Lebih dari Warisan: Budaya yang Hidup dan Berkembang
“Budaya Minang punya daya hidup yang luar biasa,” ujar sosiolog Universitas Andalas, Dr. Afrizal. “Karena ia dibawa oleh komunitas yang selalu menjaga identitasnya, meskipun hidup dalam diaspora.”
Pelajaran dari Ranah Minang
Di tangan komunitas yang sadar akan nilai-nilainya, budaya bukan hanya bertahan, tapi bisa tumbuh dan memperkaya budaya lain.
Dan seperti kata pepatah Minang, “Ka ratau madang di hulu, babuah babungo balun; marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun”—sebelum berguna di kampung, merantaulah dulu.
Tapi di mana pun mereka berada, orang Minang tahu: akar budaya tidak boleh dicabut, hanya boleh dibawa pergi dan ditanam kembali. Makin tahu Indonesia.(*)