Agam, pasbana - Di balik hamparan hijau sawah yang menghampar di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, sedang tumbuh sebuah revolusi senyap. Namanya Sawah Pokok Murah—sebuah metode pertanian padi yang menjanjikan panen berlimpah dengan biaya yang jauh lebih ringan.
Inovasi ini bukan sekadar soal tanam-menanam, tapi harapan besar untuk kembali pada masa kejayaan swasembada pangan Indonesia.
Yang menggagas sistem ini bukan perusahaan raksasa atau lembaga riset asing, melainkan seorang putra daerah: Ir. Joni, pelaku pertanian dari Ranah Minang yang selama puluhan tahun berjibaku di lahan sawah.
Ia menyebut sistem ini sebagai metode "murah" karena mampu menekan biaya produksi—mulai dari benih, pupuk, hingga air—dan "pokok" karena berorientasi pada hasil yang konsisten dan tahan terhadap gangguan iklim.
“Selama ini petani kita terlalu banyak bergantung pada input mahal, sementara hasil tidak sebanding. Dengan sistem ini, kami ingin petani tetap untung, bahkan saat musim tak bersahabat,” kata Ir. Joni.
Berbeda dengan sistem konvensional, Sawah Pokok Murah menggunakan pendekatan pertanian presisi. Lahan diatur lebih rapat namun terukur, penggunaan pupuk organik lokal diprioritaskan, dan irigasi memanfaatkan sistem hemat air yang terinspirasi dari metode alternate wetting and drying (AWD). Hasilnya? Biaya bisa ditekan hingga 40%, sementara produktivitas justru naik hingga 20% dibanding sistem biasa.
Menurut pakar agroekoteknologi, pendekatan seperti ini sangat relevan dengan tantangan iklim dan keterbatasan lahan di masa depan. “Kita butuh sistem pertanian adaptif yang mampu menjaga keseimbangan ekosistem tanpa mengorbankan hasil. Sawah Pokok Murah menjawab tantangan itu.
Panen perdana ini tidak hanya dihadiri petani setempat, tapi juga tokoh nasional seperti Titiek Soeharto dan Vasko Ruseimy. “Alhamdulillah, kita ajak langsung Buk Titiek untuk menyaksikan panen ini. Insya Allah, ini akan jadi gerakan nasional yang dimulai dari Sumatera Barat,” ujar Vasko penuh semangat.
Titiek Soeharto pun optimistis. “Kalau Sumatera Barat berhasil dengan metode ini, saya yakin daerah lain juga bisa. Kita punya lahan, kita punya petani, tinggal sistem yang perlu tepat,” katanya sambil memanen padi bersama warga.
Namun, jalan menuju perubahan tak selalu mulus. Dalam dialog bersama petani, terungkap bahwa sebagian masyarakat masih bersikap "wait and see". Mereka menunggu hasil nyata dari tetangga sebelum berani mencoba.
“Bukan karena sistemnya sulit, tapi karena sebagian petani memang belum yakin. Padahal yang sudah mencoba, alhamdulillah berhasil,” kata seorang petani dari Kecamatan Baso yang sudah menerapkan sistem ini sejak musim tanam lalu.
Metode ini mulai dilirik serius oleh berbagai pihak. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, hingga Komisi IV DPR RI telah memberikan lampu hijau untuk mendukung replikasi sistem ini ke wilayah lain.
“Ini saatnya pertanian kita bangkit bukan hanya dengan anggaran, tapi juga dengan inovasi lokal. Dan Sawah Pokok Murah adalah contoh tepat,” ungkap anggota Komisi IV DPR RI yang hadir saat panen.
Di tengah ancaman krisis pangan global, perubahan iklim, dan alih fungsi lahan, inovasi seperti Sawah Pokok Murah menghadirkan harapan baru. Harapan bahwa Indonesia bisa kembali mandiri dalam urusan perut, dimulai dari lahan-lahan kecil di daerah seperti Agam.
Kini tinggal menunggu keberanian kolektif untuk melangkah bersama. Karena sejatinya, perubahan besar memang kerap dimulai dari langkah kecil—dari sawah di balik bukit-bukit Minang. (*)