Notification

×

Iklan

Iklan

Bahasa Adalah Cerminan Identitas Diri Sebuah Bangsa

09 Juli 2025 | 22:37 WIB Last Updated 2025-07-09T19:46:10Z


Oleh:  Satria Asmal, SP,CHT,CI,CMT NLP
Direktur Specta Indonesia

Pasbana - Setiap kata yang terucap bukan hanya sekadar bunyi, melainkan juga representasi dari pikiran, nilai, dan budaya penuturnya. 

Namun, di tengah gempuran modernisasi dan tren komunikasi digital, kita menyaksikan pergeseran yang mengkhawatirkan dalam penggunaan bahasa, terutama di kalangan generasi muda. 

Kata-kata "alay" dan "lebay" merebak, seolah-olah komunikasi kehilangan jati dirinya, batas antara tua dan muda pun memudar, dan penghargaan terhadap kesantunan bahasa kian menipis.

Hilangnya Batasan dan Penghargaan


Fenomena ini terlihat jelas dari terkikisnya kalimat-kalimat sopan yang dulu menjadi ciri khas komunikasi kita. Ungkapan kosong makna, bahkan yang kasar sekalipun, seperti "menyala kawan," "anjay," "monyet lu," atau "bangsat," kini semakin sering terdengar. Lebih ironisnya lagi, demi terlihat "gaul," sebagian kaum tua pun ikut-ikutan tren ini, mengadopsi kosakata yang sejatinya tidak mencerminkan kearifan usia mereka. 

Padahal, penggunaan bahasa yang serampangan ini berpotensi mengikis etika berkomunikasi dan menghilangkan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan turun-temurun.


Kekayaan Bahasa Islam dan Pahala Berucap


Sungguh disayangkan, di saat kita tergerus oleh kosakata-kosakata baru yang tak bermakna, Islam telah menyediakan begitu banyak kalimat thayyibah (kata-kata baik) yang bukan hanya indah didengar, tetapi juga bernilai ibadah.

Mengapa kita mesti berkata "menyala" untuk menunjukkan kekaguman, padahal ada Masya Allah yang jauh lebih bermakna dan mengundang keberkahan? Mengapa tidak menggunakan Alhamdulillah untuk mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih, daripada sekadar gumaman tak jelas?

Islam mengajarkan kita untuk memperkaya lisan dengan Subhanallah saat melihat kebesaran Allah, Astaghfirullah saat memohon ampun, Qadarullah saat menerima takdir, atau Insya Allah saat merencanakan sesuatu. 

Kalimat-kalimat ini bukan hanya sekadar ucapan, melainkan juga doa dan zikir yang dapat mendatangkan pahala.
Bahasa Adalah Identitas
Mestinya, setiap kata yang keluar dari lisan kita dapat mengundang pahala, bukan sebaliknya mengundang murka Allah. 


Penggunaan bahasa yang buruk, ciri kehancuran sebuah bangsa


Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan karakter terkemuka dari Amerika Serikat, mengidentifikasi penggunaan bahasa yang memburuk sebagai salah satu dari sepuluh tanda kehancuran suatu bangsa.

Dalam bukunya "Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility", Lickona menyampaikan bahwa ketika suatu masyarakat mulai menunjukkan ciri-ciri tertentu, termasuk kemerosotan dalam penggunaan bahasa, itu adalah sinyal bahaya yang harus diwaspadai.

Ciri-ciri kehancuran bangsa menurut Thomas Lickona, yang relevan dengan bahasan kita tentang bahasa, antara lain:

- Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk (termasuk makian, cacian, ejekan, hujatan, fitnah, dan "alay") tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Ini sangat sesuai dengan fenomena merebaknya kata-kata kasar dan "alay" di kalangan generasi muda. 

Bahasa yang kasar dan tidak bermakna menunjukkan rendahnya penghargaan terhadap orang lain dan juga refleksi dari kekosongan nilai.

- Rendahnya rasa hormat terhadap orang tua atau guru. Penggunaan bahasa yang tidak sopan, bahkan kepada yang lebih tua, adalah manifestasi dari hilangnya rasa hormat ini.

-  Semakin kaburnya moral baik dan buruk. Bahasa yang tidak lagi membedakan antara yang pantas dan tidak pantas diucapkan menunjukkan bahwa batasan moral dalam masyarakat mulai memudar.

Lickona menekankan bahwa pendidikan karakter adalah kunci untuk mencegah kehancuran ini. Pendidikan karakter berfokus pada tiga komponen utama: pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral action). 

Penggunaan bahasa yang baik dan sopan adalah bagian integral dari perilaku moral yang terbentuk dari pengetahuan dan perasaan moral yang benar.

Oleh karena itu, peringatan Thomas Lickona ini semakin memperkuat urgensi untuk kembali membudayakan penggunaan bahasa yang santun, bermakna, dan positif. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga fondasi karakter dan identitas sebuah bangsa. Jika bahasa kita hancur, identitas dan karakter bangsa pun terancam.


Bahasa adalah identitas sebuah bangsa


Kehilangan identitas berarti kehilangan arah dan jati diri. Pilihan kata yang tidak bijak, yang cenderung kasar dan tidak bermakna, lambat laun akan mengikis karakter dan kepribadian kita sebagai individu dan bangsa.

Mari kita renungkan kembali. Apakah kita rela kehilangan identitas diri dan bangsa hanya karena terlena oleh tren sesaat? Mari kita kembalikan kehormatan bahasa kita dengan memilih kata-kata yang baik, santun, dan bermakna. 

Dengan begitu, komunikasi kita tidak hanya menjadi jembatan informasi, tetapi juga sarana untuk menebar kebaikan dan mengundang berkah.

***

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update