Notification

×

Iklan

Iklan

Cash Burning Company: Ketika Laba Tak Cukup untuk Menjaga Napas Bisnis

12 Juli 2025 | 09:24 WIB Last Updated 2025-07-12T02:41:39Z



Pasbana - Bayangkan sebuah mobil sport mewah, dengan bodi mengkilap dan mesin super bertenaga. Tapi sayangnya, mobil itu takkan melaju sejengkal pun jika tak ada bensin di tangki.

Analogi ini menggambarkan dengan tepat bagaimana sebuah perusahaan bisa tampak "kinclong" di laporan keuangan—penuh laba, ekspansi, dan teknologi canggih—namun tetap tak bisa berjalan jika arus kasnya seret. 

Dalam dunia bisnis, bensin itu bernama cash flow. Dan ketika perusahaan menghabiskan lebih banyak uang daripada yang bisa dihasilkannya, maka kita berhadapan dengan fenomena yang disebut cash burning.

Lalu, bagaimana mengenali apakah sebuah perusahaan hanya terlihat "wah" dari luar tapi sesungguhnya sedang terbakar pelan-pelan dari dalam?

Mengapa Cash Flow Lebih Penting dari Sekadar Laba


Sebagian investor awam terjebak pada laporan laba-rugi, yang memang menyajikan angka laba bersih sebagai tolok ukur kinerja.

Padahal, laba tidak selalu berarti uang tunai masuk. Contoh nyatanya: penjualan kredit. Angka penjualan mungkin fantastis, tapi jika uangnya belum masuk ke kas, perusahaan tetap “haus uang”.

Misalnya, sebuah perusahaan menjual barang senilai Rp10 miliar secara kredit dan mencatat laba bersih Rp1 miliar. 

Sayangnya, karena belum ada uang tunai yang diterima, operating cash flow-nya bisa tetap nol atau bahkan negatif. 

Nah, inilah jebakan bagi investor yang hanya melihat angka laba, tapi lupa menengok kondisi kas.

Dua Indikator Kunci: Operating Cash Flow dan Working Capital


Untuk mengevaluasi kesehatan napas keuangan perusahaan, dua indikator ini wajib dicermati:

Operating Cash Flow (OCF) – Menunjukkan arus kas dari aktivitas inti perusahaan. Jika positif, artinya bisnis benar-benar menghasilkan uang.

Working Capital (WC) – Selisih antara aset lancar dan liabilitas jangka pendek. Jika positif, perusahaan dinilai cukup likuid untuk membayar kewajiban jangka pendek.

Dengan dua indikator ini, kita bisa mengelompokkan perusahaan ke dalam empat kategori berikut:

1. OCF (+) & WC (+): Perusahaan Aman, Tapi Harus Tetap Waspada

Perusahaan yang berada dalam kategori ini terlihat sehat: mereka menghasilkan uang dari bisnis utamanya dan punya modal kerja yang cukup untuk membayar utangnya. Tapi tetap perlu dicermati arah ekspansi dan investasi.

Contoh Kasus: PBID (Laporan Keuangan FY 2024)
Operating cash flow: +Rp500 miliar
Working capital: +Rp1,7 triliun

Industri plastik memang menjanjikan, tapi tetap rentan terhadap regulasi lingkungan dan fluktuasi harga bahan baku. Jadi meski kasnya aman, PBID perlu terus dipantau.


2. OCF (-) & WC (+): Cash Burner yang Masih Punya Nafas Cadangan

Kondisi ini seperti orang kehabisan penghasilan tapi masih punya tabungan. Masih bisa bertahan, tapi tak akan lama jika terus defisit.

Contoh Kasus: BUKA (FY 2022)
OCF: -Rp632 miliar
WC: +Rp21 triliun

BUKA, seperti banyak startup teknologi, membakar uang untuk mengejar pertumbuhan pasar. 

Untungnya, mereka punya "nafas panjang" dari hasil IPO. Kabar baiknya, OCF BUKA mulai pulih:
2021: -Rp1,4 triliun
2022: -Rp632 miliar
2023: +Rp41 miliar
2024: +Rp331 miliar

Namun, dengan working capital yang mulai tergerus karena ekspansi agresif, publik menunggu: apakah semua investasi seperti Allo Fresh dan Belanja Online Streaming akan mulai membuahkan hasil?

3. OCF (+) & WC (-): Tanda-Tanda Pemulihan (atau Sekadar Ilusi?)

Skenario ini bisa jadi pertanda perusahaan bangkit. Tapi juga bisa berarti perusahaan tetap tercekik kewajiban jangka pendek.

Contoh Kasus: PTSP (FY 2024)
OCF: +Rp83 miliar
WC: -Rp22 miliar

PTSP, pemain di industri ayam goreng, mulai pulih pasca-pandemi. Tapi persaingan ketat dan kehadiran merek-merek baru bisa membalikkan keadaan jika inovasi produk tidak konsisten. Di sinilah pentingnya mengamati tren kuartalan.

Catatan penting: Ada model bisnis tertentu (misalnya perusahaan telekomunikasi) yang memang bisa bertahan dengan working capital negatif karena arus kas masuknya cepat dan stabil.

4. OCF (-) & WC (-): Bahaya! Perusahaan Bisa Kolaps

Ini kategori paling gawat. Seperti mobil mogok di tengah gurun tanpa bensin dan tanpa cadangan air. Jika kondisi ini berlangsung lama, kolaps bukan sekadar kemungkinan, melainkan keniscayaan.

Contoh Kasus: GMFI (FY 2020)
OCF: -USD 116 juta
WC: -USD 171 juta

Pandemi menghantam sektor penerbangan. GMFI kehilangan pendapatan besar karena penurunan tajam penerbangan.

Meskipun sejak 2021 OCF mulai membaik, hingga 2024 working capital masih negatif. Ini menunjukkan bahwa pemulihan belum sepenuhnya terjadi.

Tips Praktis bagi Investor: Hindari Terlena Angka Laba


Selalu cek arus kas – Laba tidak selalu sama dengan uang tunai.
Pantau tren OCF dan WC – Lihat bagaimana pergerakan kedua indikator ini dari tahun ke tahun.

Perhatikan sektor bisnis – Beberapa industri (seperti teknologi atau startup) wajar membakar uang di awal, tapi seharusnya menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu.

Baca catatan manajemen dan aksi korporasi – Lihat ke mana uang digunakan: investasi produktif atau hanya menambal kerugian?

Jangan Tertipu Kilau Luar, Selami Napas Dalam


Cash burning bukan sekadar istilah keren di dunia startup. Ini adalah sinyal penting tentang bagaimana perusahaan mengelola hidup matinya. 

Sebagai investor atau pengamat pasar, jangan puas hanya membaca angka laba. Lihat ke dalam, telusuri arus kas, dan analisa dengan jernih.

Karena dalam dunia bisnis, seperti dalam kehidupan, yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling bisa mengatur napas.(*) 


IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update