Notification

×

Iklan

Iklan

Jalan Sunyi Para “Al-Ghuraba”: Yang Sedikit Ditengah Arus Deras Dunia

22 Juli 2025 | 06:26 WIB Last Updated 2025-07-22T01:16:38Z


Pasbana - Di era serba digital ini, kita hidup dalam zaman yang memuja viralitas, tren TikTok, dan standar kesuksesan yang sering diukur dari jumlah likes dan followers. 

Di tengah gemerlap dunia yang riuh ini, tak sedikit yang merasa asing — bukan karena mereka tak punya akun Instagram, tapi karena mereka memilih jalan berbeda: teguh dalam prinsip, walau sendirian.

Mereka disebut Al-Ghuraba — orang-orang asing. Tapi bukan asing karena tempat tinggal, melainkan karena keyakinan dan prinsip hidup yang tidak mengikuti arus.

“Islam Datang Asing, dan Akan Kembali Asing”



Dalam satu hadits sahih riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya. Maka berbahagialah orang-orang yang asing.”
(HR. Muslim No. 145)

Hadits ini jadi pengingat penting bahwa keteguhan dalam menjalankan kebenaran kadang membuat kita berbeda — bahkan tersisih. Namun justru di situlah letak kemuliaannya.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, orang-orang ghuraba adalah mereka yang menjaga agama dan sunnah di tengah gelombang penyimpangan.

Mereka bukan orang banyak, tapi mereka membawa cahaya di tengah kegelapan.

Jejak Para “Minoritas Mulia” dalam Sejarah


Mari kita tengok ke belakang. Dalam sejarah Islam, banyak sosok luar biasa yang memilih jalan sunyi — dan justru dikenang karena itulah.

1. Sumayyah binti Khayyath

Ia adalah syahidah pertama dalam Islam. Dalam usia senja, tubuhnya disiksa oleh Abu Jahal. Namun dari mulutnya hanya keluar satu kata: “Ahad... Ahad...”—menggema sebagai simbol keteguhan tauhid. 

Ia bukan pahlawan perang, bukan pemimpin pasukan, tapi namanya diabadikan dalam sejarah karena keberaniannya melawan kezaliman.


2. Mus’ab bin Umair

Duta dakwah pertama Rasulullah ke Madinah. Dulu hidup mewah, beraroma parfum terbaik Mekkah, tapi meninggalkan segalanya demi Islam. Ketika syahid di Uhud, kain kafannya bahkan tak cukup menutupi seluruh tubuhnya. Namun dari dialah kemudian lahir peradaban Islam di Madinah.

“Sungguh, aku melihatnya di Mekkah tak ada pemuda yang lebih mewah darinya. Kini ia tinggalkan semua demi Islam.”
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)


3. Abu Dzar Al-Ghifari

Ia dikenal karena kejujurannya yang luar biasa. Tak takut bicara soal kezaliman harta. Pernah mengecam para elit yang menumpuk emas dan perak dengan ayat Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 34). 

Akibatnya, ia dikucilkan dan wafat sendiri di padang Rabdzah. Tapi suaranya tetap hidup hingga kini sebagai simbol keberanian melawan kemapanan.


4. Ammar bin Yasir

Tubuhnya disiksa, diseret di atas pasir panas. Tapi Nabi SAW meyakinkannya dengan sabda menggetarkan:
Api neraka tak akan menyentuhmu!”
(HR. Ahmad)

Menjadi Ghuraba Hari Ini


Menjadi ghuraba hari ini tak harus turun ke medan perang. Di tengah kehidupan modern, ia bisa berarti:

Menolak suap saat semua orang melakukannya.
Bertahan dengan rezeki halal meski sederhana.
Konsisten salat malam meski dunia sedang terlelap.
Menolak arus budaya populer yang bertentangan dengan nilai iman.

Menurut Dr. Adian Husaini, Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, menjadi minoritas yang lurus dalam masyarakat liberal adalah salah satu tantangan berat umat Islam modern. “Tapi justru karena berat, itulah ladang pahala besar,” katanya dalam salah satu kajian daring. 

Dunia Mungkin Tak Mengenalmu, Tapi Langit Menghormatimu


Dalam realitas saat ini, ketika popularitas jadi patokan, orang-orang yang memilih jalan lurus justru sering dianggap aneh. Tapi seperti kata Ustaz Salim A. Fillah dalam bukunya "Dalam Dekapan Ukhuwah":

“Kita memang minoritas di dunia. Tapi kita mayoritas di surga, insyaAllah.”


Minoritas yang Dirindukan Surga


Jalan sunyi bukan berarti jalan sepi. Ia mungkin lengang, tapi penuh makna. Para ghuraba adalah mereka yang memikul obor kebenaran, di saat dunia memilih gelap. 

Bagi mereka, ridha Allah lebih penting daripada pengakuan manusia.

Mereka bukan ekstremis. Mereka bukan anti-sosial. Mereka hanya... berbeda. Dan dari perbedaan itulah mereka berdiri tegak, melawan arus.

Maka berbahagialah orang-orang yang asing!”
(HR. Muslim)

(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update