Pasbana - Setiap Jumat kita dengar khutbah yang menyeru pada kebaikan. Di pengajian, ustaz dan ustazah mengingatkan pentingnya sabar, jujur, dan menolong sesama.
Di media sosial, berseliweran konten dakwah yang mengajak kita memperbaiki diri, lebih ramah, lebih salih, lebih waras. Tapi kenyataannya? Yang viral justru sebaliknya.
Gosip, hoaks, ujaran kebencian, gaya hidup hedon, korupsi, hingga konten sensasi yang merusak akhlak—semua menyebar seperti virus.
Padahal tidak ada satu pun penceramah yang menyeru: “Mari kita berzina hari ini!” atau “Ayo korupsi bersama!” Tapi kenyataan berbicara lain.
Keburukan seolah punya panggung lebih besar. Lalu, kenapa bisa begitu?
1. Karena yang Buruk Lebih Menggoda
Menurut psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Ratih Ibrahim, manusia cenderung memilih hal yang memberikan kepuasan instan—meskipun berdampak buruk.
“Secara neurologis, otak kita akan lebih cepat merespons kesenangan sesaat, karena dopamin bekerja lebih aktif,” ujarnya.
Itulah mengapa menahan diri untuk tidak menyontek, tidak membalas dengan marah, atau tidak ikut-ikutan gibah di grup WhatsApp, terasa lebih berat daripada sekadar ‘meluncur’ dalam kebiasaan buruk itu.
2. Karena Dunia Hiburan Diam-diam Jadi ‘Dai’ Baru
Coba tonton deretan sinetron populer, konten viral di TikTok, atau video trending YouTube. Berapa banyak yang menyajikan cerita cinta sehat, perilaku jujur, atau etika sosial yang baik?
Yang justru sering ditampilkan: perselingkuhan, kekerasan verbal, gaya hidup mewah, atau seks bebas yang dinormalisasi.
Sosiolog media dari UGM, Dr. Rachmat Hidayat, menyebut ini sebagai “normalisasi destruktif”. "Tanpa sadar, tayangan itu membentuk persepsi bahwa perilaku menyimpang adalah bagian dari keseharian dan hal biasa," jelasnya.
3. Karena Kita Takut Menegur
Mengajak orang pada kebaikan (amar ma’ruf) itu mudah. Tapi mencegah kemungkaran (nahi munkar)? Wah, ini yang berat.
Banyak orang merasa tak enak jika harus menegur teman yang melanggar aturan. Menasihati saudara sendiri saja bisa berujung musuhan.
Padahal dalam Islam, tugas dakwah bukan hanya menyeru pada kebaikan, tapi juga mencegah keburukan.
Seperti disampaikan Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim: "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika tidak mampu, maka dengan hati. Itulah selemah-lemahnya iman."
4. Karena Lingkungan Kita Tidak Netral
Lingkungan bisa menjadi tempat subur bagi tumbuhnya nilai-nilai buruk. Ketika teman, keluarga, bahkan figur publik yang diteladani justru memberi contoh buruk, maka kebaikan akan selalu terasa asing. Lama-lama, kita bisa ikut-ikutan.
Contohnya, budaya korupsi di kalangan pejabat. Generasi muda melihat sendiri bahwa kejujuran sering kali tidak mengantar ke puncak, justru sebaliknya.
Apatisme pun tumbuh. Nilai-nilai baik kehilangan maknanya.
5. Karena Kurangnya Keteladanan
Banyak tokoh agama, politisi, atau influencer yang bicara soal kebaikan, namun terjerat kasus yang justru mencoreng wajah dakwah.
Ketika ucapan dan tindakan tidak sejalan, masyarakat kehilangan kepercayaan. Dakwah pun kehilangan daya.
Solusinya? Hidupkan Nahi Munkar dan Jadi Teladan Nyata
Mulai dari rumah, lingkungan kerja, atau komunitas, kita bisa hadir sebagai pelita kecil yang menolak gelapnya keburukan.
Jangan menunggu sempurna untuk berdakwah, cukup jujur dalam keseharian.
Jangan menunggu sempurna untuk berdakwah, cukup jujur dalam keseharian.
Jangan menunggu punya pangkat tinggi untuk menegur, cukup berani untuk tidak ikut arus.
Sebab, seperti kata Imam Al-Ghazali, "Kebatilan yang terorganisir bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir."
Sebab, seperti kata Imam Al-Ghazali, "Kebatilan yang terorganisir bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir."
Dan ingat, keburukan tidak butuh iklan. Ia menular lewat kelengahan. Tapi kebaikan, harus terus diperjuangkan agar tetap hidup.(*)