Tanah Datar, pasbana – Di balik keindahan Danau Singkarak yang tenang dan memikat, tersimpan satu kekayaan alam yang kini nasibnya berada di ujung tanduk: ikan bilih.
Ikan mungil ini bukan sembarang ikan – ia adalah satu-satunya spesies endemik di dunia yang hanya bisa ditemukan di danau vulkanik terbesar di Sumatera Barat ini.
Namun, seiring waktu, populasi ikan bilih kian menyusut. Penangkapan berlebih, degradasi lingkungan, dan sampah yang mencemari perairan menjadi ancaman nyata.
Menyadari urgensi ini, berbagai pihak berkumpul dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) pada Selasa, 15 Juli 2025 di Aula Kantor Gubernur Sumbar.
Tujuannya satu: mencari solusi bersama untuk menyelamatkan ikan bilih dari kepunahan.
Sebuah Ikan, Sejuta Arti
"Ikan bilih itu bukan sekadar komoditas, ia warisan alam yang tak tergantikan," ungkap Jasman Rizal, Staf Ahli Gubernur Sumbar Bidang Hukum, Politik, dan Pemerintahan, dalam pembukaan FGD.
“Nilai ekonominya tinggi, iya. Tapi lebih dari itu, bilih adalah identitas dan kebanggaan masyarakat Sumatera Barat.”
Bagi masyarakat di sekitar Danau Singkarak—seperti di Tanah Datar dan Kabupaten Solok—ikan bilih bukan hanya menu lauk harian. Ia adalah sumber penghidupan, bahkan menjadi daya tarik wisata kuliner khas.
Dalam bentuk goreng garing, bilih telah menembus pasar oleh-oleh hingga restoran di kota-kota besar.
Namun di balik gemilang itu, data mencatat kenyataan yang tak menggembirakan.
Angka yang Bersuara: Produksi Bilih Terus Turun
Prof. Dr. Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University, membongkar fakta yang mengejutkan. Sejak 2006, produksi ikan bilih mengalami penurunan rata-rata 4,74 persen setiap tahun.
"Tahun 2013, produksi bilih mencapai puncaknya—hampir 970 ton. Tapi sejak 2015, terus menurun jadi hanya sekitar 680 ton per tahun. Ini jelas tanda bahaya. Populasinya menurun drastis karena overfishing dan rusaknya habitat," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa restocking atau pelepasan kembali benih bilih ke Danau Singkarak menjadi salah satu langkah strategis untuk menyelamatkan populasi. Namun langkah ini tak bisa dilakukan sendiri.
Aksi Kolaboratif: Pemerintah, Akademisi, hingga Swasta
FGD ini digagas atas kerjasama lintas lembaga: PKSPL-IPB, Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN), dan Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar. Hadir sebagai pembicara antara lain Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar, Dr. Ir. Reti Wafda, M.TP, serta peneliti senior ikan bilih dari Universitas Bung Hatta, Prof. Dr. Hajrial Syandri.
Tak hanya akademisi, pihak swasta pun ikut terlibat. Deni Zein dari PT Semen Padang menyampaikan kesiapan perusahaan mendukung pelestarian ikan bilih lewat program tanggung jawab sosial (CSR). Ini menjadi bukti bahwa penyelamatan ikan bilih bukan sekadar urusan pemerintah, tapi tanggung jawab semua.
Harapan dari Tanah Datar
Wakil Bupati Tanah Datar, Ahmad Fadly, yang hadir langsung dalam diskusi ini, mengungkapkan komitmennya untuk mendukung penuh langkah-langkah pelestarian.
“Pemkab bersama OPD terkait dan para Wali Nagari di sekitar Danau Singkarak akan intens melakukan edukasi ke masyarakat. Ini bukan soal hari ini, tapi tentang warisan untuk anak cucu kita,” ujarnya penuh semangat.
Menurutnya, ikan bilih tak hanya penting dari sisi ekologi, tetapi juga ekonomi dan ketahanan pangan. Jika tidak dijaga, kita bukan hanya kehilangan satu jenis ikan, tapi juga kehilangan peluang masa depan.
Tantangan dan Harapan
Tak bisa dimungkiri, tantangan di lapangan masih besar. Dari kesadaran masyarakat yang belum merata, praktik penangkapan yang belum ramah lingkungan, hingga pengendalian sampah yang belum maksimal.
Namun harapan tetap menyala. FGD ini menjadi titik temu gagasan sekaligus titik tolak aksi nyata. Jika semua pihak konsisten bergerak bersama—pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat—bukan tidak mungkin bilih akan kembali berjaya di Danau Singkarak. Makin tahu Indonesia.
Fakta Singkat Tentang Ikan Bilih:
Nama ilmiah: Mystacoleucus padangensis
Habitat alami: Hanya di Danau Singkarak, Sumatera Barat
Ukuran: Maksimal 10 cm
Status konservasi: Endemik – belum masuk daftar IUCN, namun telah dikategorikan dalam kondisi overfishing menurut beberapa riset nasional
Potensi ekonomi: Harga pasar bisa mencapai Rp150.000 – Rp200.000 per kilogram kering
Habitat alami: Hanya di Danau Singkarak, Sumatera Barat
Ukuran: Maksimal 10 cm
Status konservasi: Endemik – belum masuk daftar IUCN, namun telah dikategorikan dalam kondisi overfishing menurut beberapa riset nasional
Potensi ekonomi: Harga pasar bisa mencapai Rp150.000 – Rp200.000 per kilogram kering
(*)