Notification

×

Iklan

Iklan

Polemik Pendidikan yang Tak Pernah Usai, Ada Apakah?

06 Juli 2025 | 08:11 WIB Last Updated 2025-07-06T01:11:57Z


Oleh Satria Asmal,SP,CHT,CI,CMT NLP
Direktur Specta Indonesia

Pasbana - Pendidikan, yang seharusnya menjadi pilar utama kemajuan bangsa, di Indonesia justru seperti medan perang tanpa akhir. Setiap tahun, masalah yang sama terus berulang, bahkan terkesan memburuk, membuat kita bertanya-tanya: ada apa sebenarnya dengan pendidikan kita?

Kualitas Pendidikan, Antara Harapan dan Kenyataan Pahit

 
Tak bisa dipungkiri kualitas pendidikan adalah cerminan kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang berpendidikan akan melahirkan inovator, pemimpin, dan masyarakat yang kritis. Sebaliknya, bangsa yang bodoh mudah dimanipulasi dan dikuasai, menjadi santapan empuk bagi kepentingan segelintir elit. 

Ironisnya, kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa kita masih jauh dari cita-cita mulia tersebut. Kita masih berkutat dengan permasalahan mendasar yang menghambat potensi generasi muda.


Kurikulum: Ganti Kulit, Isinya tak jauh beda


Salah satu polemik yang tak pernah absen dari sorotan adalah gonta ganti kurikulum yang terlampau sering. Setiap menteri baru datang dengan kurikulum baru, yang seringkali hanya seperti "ganti kulit". Isinya sama, hanya sampulnya saja yang berbeda. 

Rakyat, terutama siswa, guru, dan orang tua, selalu menjadi korban kebijakan pendidikan yang labil ini. Mereka dipaksa terus beradaptasi dengan sistem yang berubah-ubah, tanpa ada jaminan perbaikan yang berarti. Ini bukan hanya membuang waktu dan tenaga, tetapi juga menciptakan kebingungan dan frustrasi di seluruh ekosistem pendidikan.

Akses dan Biaya: Jurang Pemisah yang Kian Dalam


Selain kurikulum, masalah lain yang tak kalah pelik adalah mahalnya biaya pendidikan. Anggapan bahwa pendidikan adalah hak dasar seolah sirna di hadapan kenyataan tingginya uang pangkal, SPP, dan biaya lainnya. Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pun tak luput dari keruwetan dan intrik, seringkali menyisakan cerita pilu bagi mereka yang tidak memiliki "koneksi" atau dana lebih.

 Sekolah-sekolah yang dilabeli "unggul" kerap kali hanya "rancak di labuah" (indah di luar), namun belum unggul secara substansi. Compang camping sana sini masih tak terbenahi. Sehingga tak jarang orangtua yang kecewa karena terlanjur memasuk kan anaknya. 

Kalaupun ada sekolah yang benar-benar bagus, biayanya selangit, hanya bisa dijangkau oleh kalangan berduit. Ini menciptakan jurang pemisah yang dalam antara si kaya dan si miskin dalam mendapatkan pendidikan berkualitas. 

Dengan alasan pembiayaan dilakukan mandiri, namun mirisnya guru nya digaji ala kadarnya. Dengan alasan pengabdian semua kerja dihantam nya, pahlawan tanpa tanda jasa kata nya..

Prestasi dan Integritas: Ketika Ijazah Bisa Dibeli


Lebih miris lagi, apresiasi bagi mereka yang berprestasi seringkali minim. Semangat untuk belajar dan berinovasi seakan pudar ketika melihat realitas bahwa selembar ijazah bisa dibeli. Fenomena ijazah palsu atau praktik jual beli gelar menjadi bukti nyata bobroknya integritas dalam sistem pendidikan kita. 

Ketika nilai sebuah ijazah tidak lagi mencerminkan kompetensi dan kerja keras, bangsa ini semakin jauh dari kata maju. Sementara itu, para elit berpesta pora menguasai negeri, menikmati hasil dari sistem yang mereka ciptakan, tanpa peduli pada dampak jangka panjang terhadap masa depan bangsa. Ini adalah pukulan telak bagi moral dan etika dalam dunia pendidikan. 

Ditambah lagi, walaupun tak punya kompetensi, asal dekat dengan penguasa negeri, jabatan dikasi. Lalu anak negeri yang sudah matian matian berkompetisi hanya kebagian janji basi.


Solusi untuk Kekisruhan Ini: Perubahan Fundamental!


Lantas, apa solusi untuk kekisruhan yang tak berujung ini? Ini bukan lagi tentang ganti kurikulum atau sekadar menambah anggaran. Solusinya membutuhkan keberanian untuk berbenah dari akarnya, bukan hanya di permukaan:

 * Visi Pendidikan Jangka Panjang yang Konsisten: 
Hentikan politisasi pendidikan! Perlu ada konsensus nasional tentang visi pendidikan yang jelas, realistis, dan berkelanjutan, terlepas dari siapa pun yang menjabat sebagai menteri. Ini harus menjadi cetak biru yang tak tergoyahkan.

 * Pemerataan Akses dan Kualitas yang Nyata: 
Pemerintah harus serius dalam pemerataan akses dan kualitas pendidikan, tidak hanya di perkotaan tetapi juga di daerah terpencil. Subsidi pendidikan harus tepat sasaran, dan transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan wajib ditingkatkan. Bangun sekolah yang layak di setiap pelosok.

 * Fokus pada Kualitas Guru dan Kesejahteraan: 
Guru adalah ujung tombak pendidikan. Tingkatkan kualitas, kesejahteraan, dan apresiasi bagi para guru. Berikan pelatihan berkelanjutan dan pastikan mereka mendapatkan imbalan yang layak sesuai dengan dedikasi mereka.

 * Penguatan Pendidikan Karakter dan Anti-Korupsi: 
Tanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, dan antikorupsi sejak dini. Ini krusial untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermoral dan berdaya saing.

 * Revisi Sistem Evaluasi dan Akuntabilitas yang Tegas: 
Sistem evaluasi pendidikan harus lebih dari sekadar angka. Libatkan partisipasi publik dalam pengawasan dan akuntabilitas lembaga pendidikan. Berantas praktik jual beli ijazah dan segala bentuk kecurangan dengan sanksi yang berat dan transparan.

Polemik pendidikan di Indonesia memang kompleks, namun bukan berarti tidak ada harapan. Perlu komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa, dari pemerintah, masyarakat, hingga orang tua dan siswa, untuk bersama-sama membangun sistem pendidikan yang adil, berkualitas, dan berintegritas. Jika tidak, kita akan terus terperangkap dalam lingkaran setan ini, menyaksikan bangsa ini semakin tertinggal.

Padahal indonesia berpeluang besar menjadi pemimpin peradaban dunia?
Atau jangan jangan ada yang tak mau tersaingi atau tidak ingin bangsa ini bangkit agar tetap bisa dikuasai?
Entahlah!

*

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update