Padang Panjang , pasbana –
Aroma kopi dari stand UMKM bercampur wangi buku-buku lawas dan semangat muda yang mengalir dari panggung seni.
Aroma kopi dari stand UMKM bercampur wangi buku-buku lawas dan semangat muda yang mengalir dari panggung seni.
Inilah suasana yang menyambut para pengunjung di Festival Literasi dan Budaya 2025, yang digelar di kawasan ikonik Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM), Kota Padang Panjang, pada 25–27 Juli 2025.
Tiga hari penuh inspirasi ini bukan sekadar ajang membaca dan menonton pertunjukan. Lebih dari itu, festival ini menjadi ruang kolaborasi lintas generasi, tempat bertemunya sastra, budaya, ekonomi kreatif, hingga kepedulian lingkungan dalam satu panggung yang menggugah.
Dibuka dengan seremoni yang hangat, acara dimulai dengan penyerahan hadiah lomba video konten dan resensi buku, disusul penampilan tari kolosal dari Sanggar Prawira Nan Agung.
Di saat bersamaan, pengunjung bebas menjelajah stand-stand pameran literasi dan UMKM lokal yang menjajakan beragam produk kreatif—dari buku, kriya, hingga makanan khas Minang.
Menurut Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang Panjang, Yan Kas Bari, festival ini bukan hanya tentang merayakan budaya, tetapi juga menghidupkan ekosistem literasi dan kreativitas masyarakat.
“Festival ini adalah panggung rakyat. Kita ingin budaya membaca tumbuh dari bawah, dari masyarakat sendiri, dengan cara yang menyenangkan,” ujar Yan.
Hari pertama festival makin menarik dengan sesi gelar wicara bersama sastrawan nasional Yusrizal KW dan para pegiat sastra lainnya. Obrolan hangat tentang dunia kata-kata dan proses kreatif para penulis menjadi inspirasi tersendiri, terutama bagi generasi muda yang mulai menggandrungi dunia literasi digital.
Malamnya, suasana berubah menjadi sinematik dengan pemutaran film edukasi, menandai bahwa literasi visual juga punya tempat penting dalam festival ini.
Memasuki hari kedua, panggung utama menjadi milik kesenian tradisi Minangkabau. Tampil memukau, grup-grup seperti Diafora, Marakik Aso, Paninjauan Saiyo, hingga Terkenal Ansamble menyuguhkan pertunjukan yang membawa penonton seolah menembus waktu ke akar budaya Minang yang kaya.
Tak hanya itu, Festival Pamenan Minangkabau 2025 juga diresmikan hari itu. Festival ini menjadi ruang hidup kembali bagi permainan rakyat dan budaya tutur yang hampir terlupakan.
Energi seni tak surut. Komunitas-komunitas kreatif dari berbagai penjuru Sumatera Barat tampil dengan tari, musik, puisi, hingga peragaan busana tradisional kontemporer.
Malam pun ditutup megah oleh penampilan Sanggar Aguang, Teater ASA, Sibat Dance Theater, dan Cuqa Band, yang sukses membius ratusan pasang mata.
Hari ketiga dibuka dengan lomba mewarnai untuk anak-anak TK, sebuah aktivitas sederhana yang bermakna besar dalam menanamkan nilai budaya sejak dini.
Di tempat lain, berlangsung diskusi budaya dalam forum Halakah Budaya bertema “Perempuan Minangkabau: Dulu, Kini, dan Masa Depan”. Menghadirkan akademisi, pegiat budaya, dan aktivis perempuan, diskusi ini mengupas peran penting perempuan Minang yang selama ini dikenal sebagai penjaga nilai-nilai adat dan penggerak literasi keluarga.
Sementara itu, kegiatan edukatif lainnya juga tak kalah menarik. Ada lokakarya ekonomi kreatif berkelanjutan, edukasi pengelolaan sampah, hingga demo kerajinan dari barang bekas, yang semuanya membuktikan bahwa festival ini tak hanya menampilkan, tapi juga mengajarkan.
Malam puncak festival menjadi selebrasi lintas generasi. Grup Lansia Kampuang Sarugo tampil penuh semangat, membuktikan bahwa semangat berkesenian tak mengenal usia. Penampilan dari Lab ART Project, Show D Dance Theater, dan Sanggar Saandiko menambah kekayaan ragam seni yang ditampilkan.
Dan sebagai penutup yang manis, Upiak Isil—penyanyi yang dikenal luas lewat lagu-lagu berbahasa Minang—mengguncang panggung dengan nuansa khas Sumatera Barat yang kental dan menggembirakan.
Festival ini adalah bagian dari upaya panjang menjadikan Padang Panjang sebagai kota literasi dan budaya yang sesungguhnya. Tidak hanya karena julukan, tapi karena kerja nyata dari komunitas, pemda, dan masyarakatnya yang mau bergerak bersama.
Menurut data UNESCO, literasi budaya adalah salah satu kunci membangun masyarakat inklusif dan kreatif. Dan Padang Panjang tampaknya sudah berada di jalur yang tepat.
“Mari jadikan momentum ini sebagai ajang pembuktian bahwa kita adalah bangsa yang besar karena budaya dan literasi. Ini bukan akhir, tapi awal dari gerakan bersama,” pungkas Yan Kas Bari.(*)