Pasbana - Pagi itu, deru langkah kaki menggema di lantai masjid. Satu demi satu jamaah memasuki ruang utama, sebagian langsung duduk, sebagian lain mengisi barisan shalat dengan wajah tenang.
Tapi ada satu hal yang kerap luput dari perhatian: barisan terdepan — shaf pertama.
Bagi sebagian orang, posisi ini hanyalah deretan biasa, sejajar dengan imam, tanpa makna khusus.
Namun, di baliknya tersimpan sebuah perlombaan spiritual yang diam-diam berlangsung setiap waktu — perlombaan yang bahkan disebut Rasulullah ﷺ sebagai sesuatu yang patut diperebutkan hingga diundi.
"Seandainya manusia mengetahui keutamaan dalam azan dan shaf pertama, lalu mereka tidak mendapatkan cara untuk memperolehnya kecuali dengan mengundi, niscaya mereka akan melakukannya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bukan Sekadar Tempat Duduk Depan
Hadis-hadis seperti ini seharusnya menjadi pemantik semangat, terutama di era serba cepat saat ini.
Namun realitas berkata lain. Di banyak masjid perkotaan, shaf pertama justru kerap kosong — sepi dari jamaah yang memilih tempat di belakang, dekat dinding, atau di sudut ruangan.
Sebagian karena sungkan, sebagian karena merasa “nanti saja” mengisi yang depan.
Padahal, Umar bin Khattab رضي الله عنه, sang Khalifah kedua, bahkan pernah murka ketika melihat barisan shalat tidak lurus.
Padahal, Umar bin Khattab رضي الله عنه, sang Khalifah kedua, bahkan pernah murka ketika melihat barisan shalat tidak lurus.
Baginya, meluruskan shaf bukan sekadar adab, tapi simbol kepatuhan kolektif umat kepada Allah.
“Luruskan shaf kalian! Atau Allah akan memalingkan wajah-Nya dari kalian.”
(Umar bin Khattab, dalam riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatha’)
Said bin Musayyib: Semangat yang Tak Pernah Pudar
Kisah inspiratif datang dari Said bin Musayyib, ulama besar dari generasi tabi’in. Meski di usia senjanya matanya telah buta, namun semangatnya untuk mengisi shaf pertama tidak pernah luntur.
Ia datang lebih awal ke masjid, berjalan meraba-raba dinding hanya untuk memastikan tempat di barisan terdepan. Ia tahu betul nilai spiritual yang terkandung di sana.
“Aku mendengar langsung sabda Nabi tentang keutamaan shaf pertama,” ujarnya suatu kali.
Sebuah kesaksian tulus dari hati yang tak ingin kehilangan momentum bertemu Tuhannya, walau hanya sedetik.
Malaikat di Barisan Depan
“Shaf pertama lebih utama dari shaf yang belakang sebagaimana keutamaan awal dan akhir. Karena Malaikat Rahmat meletakkan tangan di atas pundak jamaah shaf pertama. Jika ada kekurangan, akan disempurnakan oleh jamaah berikutnya.”
Sebuah metafora surgawi: barisan terdepan adalah tempat tangan-tangan malaikat hadir, mencatat dan menyebarkan rahmat Ilahi.
Di barisan ini, spiritualitas tidak hanya dijalani, tapi diresapi secara kolektif.
Shaf Pertama di Era Antrean Modern
Menurut data riset dari Pew Research Center (2023), praktik ibadah berjamaah di negara mayoritas Muslim mulai mengalami penurunan di kota besar.
Pola urbanisasi, mobilitas tinggi, hingga gaya hidup instan turut memengaruhi kesungguhan umat dalam menjaga rutinitas spiritual, termasuk shalat berjamaah di masjid.
Padahal, dalam Islam, hadir ke masjid bukan hanya kewajiban, tapi juga simbol komitmen sosial-spiritual. Shaf pertama menjadi salah satu bentuk konkret dari nilai-nilai itu.
Bukan Hanya Tentang Pahala
Mengisi shaf pertama bukan cuma soal pahala, tapi juga mencerminkan tiga hal:Kesigapan jiwa dalam merespons panggilan Ilahi.
Solidaritas spiritual — menyempurnakan barisan, menutup celah, menahan gangguan.
Investasi akhirat — dengan ‘dividen’ pahala yang tidak mungkin rugi.
Tak heran, Rasulullah ﷺ menyamakan shaf dalam shalat seperti barisan tentara dalam jihad. Dalam satu riwayat lain disebutkan, "Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya)
Rebutlah Barisan Terdepan
Di era serba cepat ini, mari kita pelankan langkah sejenak. Tengok masjid di lingkungan kita. Apakah shaf pertama masih sepi?
Kalau ya, bisa jadi bukan hanya ruang fisik yang kosong, tapi juga peluang pahala yang kita biarkan lewat begitu saja.
Tirulah semangat para salaf — dari Umar bin Khattab hingga Said bin Musayyib — yang menjadikan shaf pertama sebagai medan utama pertarungan jiwa.
Karena siapa tahu, di sanalah tempat kita pertama kali benar-benar ‘diperhatikan’ oleh langit.(*)