Notification

×

Iklan

Iklan

Spirit Ta'awun: Semangat Tolong-Menolong di Tengah Perubahan Zaman

30 Agustus 2025 | 09:20 WIB Last Updated 2025-08-30T03:13:26Z


Pasbana - Di tengah kehidupan modern yang semakin sibuk dan individualis, ada satu nilai lama yang seakan tak pernah lekang dimakan waktu: semangat tolong-menolong. 

Bagi umat Islam, nilai ini bukan sekadar kebaikan sosial, melainkan bagian dari perintah agama.

Al-Qur’an bahkan menegaskan, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan... (QS. Al-Maidah: 2). 

Pesan ini sederhana tapi dalam: hidup tidak bisa dijalani sendirian.

Bangunan yang Kokoh Karena Saling Menopang


Rasulullah SAW pernah mengibaratkan hubungan antar-Muslim layaknya sebuah bangunan. Batu bata tidak akan berdiri kokoh bila berdiri sendiri, tapi ketika saling menopang, ia bisa menjelma menjadi rumah yang kuat. 

Hadis ini terasa relevan di era sekarang, ketika banyak masyarakat terjebak dalam gaya hidup serba individual.

Psikolog sosial, Erich Fromm, pernah menyebut bahwa “kebutuhan manusia yang paling mendasar bukan hanya makan atau keamanan, melainkan rasa memiliki dan kebersamaan.”

Dengan kata lain, tanpa solidaritas, manusia akan rapuh, meski secara materi mungkin berkecukupan.

Dari Relawan Bencana hingga Gerakan Sosial


Spirit solidaritas ini juga terlihat nyata di Indonesia. Saat bencana melanda, mulai dari gempa Lombok, banjir di Kalimantan, hingga erupsi Gunung Merapi, kita bisa menyaksikan bagaimana masyarakat bahu-membahu membantu korban. 

Data BNPB (2023) mencatat lebih dari 1,2 juta relawan terlibat dalam aksi kemanusiaan di seluruh Indonesia. Ini bukti nyata bahwa semangat ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan) masih hidup.

Di level keseharian, semangat itu hadir lewat gerakan sosial seperti sedekah Jumat, warung gratis, hingga komunitas bank sampah yang tidak hanya meringankan beban sesama, tapi juga membawa dampak positif bagi lingkungan.

Lebih dari Sekadar Empati


Rasulullah SAW juga menegaskan, Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim). 

Hadis ini sering dikutip, tapi tantangannya adalah bagaimana menerapkannya.

Di tengah kompetisi ekonomi dan gaya hidup serba instan, maukah kita berhenti sejenak untuk peduli? 

Sederhana saja: menyisihkan sedikit rezeki untuk tetangga yang kesulitan, meluangkan waktu menjadi relawan, atau bahkan sekadar menyebarkan informasi positif yang bermanfaat.

Investasi Dunia dan Akhirat


Islam memberikan “jaminan ilahi” bagi mereka yang peduli. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang meringankan kesulitan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan meringankan kesulitannya di akhirat kelak.” (HR. Muslim).

Sebuah konsep yang bisa disebut sebagai “tabungan empati” – investasi yang tidak hanya bermanfaat sekarang, tapi juga di kehidupan mendatang.

Menjadikan Solidaritas Sebagai Identitas


Tantangan terbesar umat Islam, bahkan bangsa ini, bukan semata soal ekonomi atau politik, melainkan menjaga persaudaraan. Perbedaan suku, bahasa, hingga pandangan politik kerap menjadi pemicu perpecahan. 

Padahal, Al-Qur’an sudah menegaskan, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10).

Jika semangat solidaritas terus dijaga, maka umat tidak hanya kuat secara spiritual, tapi juga sosial, budaya, dan ekonomi. Solidaritas bukan lagi jargon, tapi identitas.

Nilai tolong-menolong bukanlah hal kuno yang hanya relevan di masa lalu. Justru di era modern yang penuh tantangan, solidaritas adalah “vitamin sosial” agar bangsa ini tetap sehat.

 Sebagaimana dikatakan pepatah Arab, “Al-wahdatu quwwatun” — persatuan itu kekuatan. Dan kekuatan itu, sesungguhnya, ada di tangan kita semua.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update