Notification

×

Iklan

Iklan

Urang Minang di Pusaran Kemerdekaan RI: Dari Pituah Nenek Moyang Hingga Meja Perundingan Dunia

12 Agustus 2025 | 09:46 WIB Last Updated 2025-08-12T02:46:56Z


Oleh: Mak Jamil Labai Sampono  
Praktisi Adat Minang

Pasbana - Di setiap sudut kampung di Minangkabau, masih kerap terdengar petuah dari orang tua yang sarat makna perjuangan:

"Yuang… kok nyampang dialiah jalan di urang lalu, pasa di usai di pandatang, supadan dianjak urang, tanah pusako nan tarampeh. Singsiangkan langan baju ang yuang, jan ang takuik darah taserak, jan ang takuik mahadang musuah. Kalau tak aja bapantang mati, basilang karih dilihia nan bana, sampaikan juo. Tandang kalanggang walau surang, soal aja urusan nan ciek."

Petuah itu bukan sekadar kata-kata indah. Ia adalah kompas moral yang diwariskan dari generasi ke generasi, menanamkan keberanian, kejujuran, dan pengabdian kepada tanah air. 

Barangkali inilah yang menjadi “bahan bakar” bagi banyak pejuang Minangkabau untuk selalu berada di garda terdepan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Jejak Minang di Lembar Emas Kemerdekaan


Sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh Minangkabau. Bukan hanya di medan tempur, tapi juga di meja perundingan, di arena diplomasi, hingga di dapur pemikiran kebangsaan.

Tan Malaka – Jauh sebelum Sumpah Pemuda, ia sudah menulis "Naar de Republiek Indonesia" (1925), sebuah gagasan yang menginspirasi generasi pejuang termasuk Soekarno.

Mohammad Yamin – Tokoh penting BPUPKI yang mengusulkan dasar negara di tahun 1945.

Mohammad Hatta – Proklamator sekaligus arsitek konsep ekonomi kerakyatan.

Haji Agus Salim – Diplomat ulung yang memastikan kemerdekaan Indonesia diakui dunia.

Sutan Sjahrir – Perdana Menteri pertama yang lihai bernegosiasi saat Belanda masih berupaya mencengkeram Indonesia.

Mohammad Natsir – Pahlawan persatuan lewat Mosi Integral, yang mengembalikan NKRI setelah terpecah menjadi Republik Indonesia Serikat.

Soekarno – Sang Proklamator sendiri punya ikatan darah Minang lewat istrinya, Fatmawati, keturunan bangsawan Indrapura, Pesisir Selatan.

Bukittinggi: Ibu Kota Sementara Republik


Ketika Jakarta jatuh akibat Agresi Militer Belanda II (1948), Bukittinggi menjadi pusat pemerintahan darurat lewat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Dari kota inilah, Republik tetap bernafas, menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia belum menyerah.

PRRI: Cinta RI yang Tak Pernah Lepas


Sejarah juga mencatat PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Meski kerap dicap pemberontakan, tuntutannya tak pernah mengarah pada pemisahan diri. 

Mereka hanya meminta:
Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang murni
Mengembalikan dwitunggal Soekarno–Hatta
Otonomi daerah untuk menggali potensi lokal
Pembersihan kabinet dari unsur komunis

Berbeda dengan gerakan separatis lain seperti GAM atau OPM, PRRI tetap membawa nama “Republik Indonesia” di benderanya.

Peringatan dari Buya Syafii Maarif


Mantan Ketua PP Muhammadiyah yang juga cendekiawan Minang, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, pernah berkata:
“Apabila NKRI hancur lebur dan semua daerah memisahkan diri, maka Sumatera Barat-lah yang akan tetap tersisa.”

Sebuah pernyataan yang bukan sekadar kebanggaan, tapi juga tanggung jawab moral.

Tantangan Generasi Minang Masa Kini


Kini, tantangan yang dihadapi bukan lagi penjajahan fisik, tapi gelombang globalisasi, pragmatisme politik, dan krisis identitas.

Sejarah telah membuktikan bahwa urang Minang mampu melahirkan pemikir-pemikir besar yang membentuk peta bangsa. 

Pertanyaannya:
Apakah generasi Minang hari ini masih mau berdiri di garis depan demi Indonesia, atau sekadar menjadi penonton di panggung sejarah?

Selamat Hari Kemerdekaan RI ke-80.


Semoga semangat juang para pendahulu tetap mengalir di darah kita. Karena seperti pepatah Minang, “Alam takambang jadi guru” — alam mengajarkan kita untuk terus belajar, beradaptasi, dan berjuang.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update