Notification

×

Iklan

Iklan

Baju Guntiang: Simbol Gagah Laki-Laki Minangkabau dari Masa ke Masa

24 September 2025 | 11:33 WIB Last Updated 2025-09-24T07:55:39Z


Pasbana - Pernahkah Anda melihat laki-laki Minangkabau memakai baju longgar berwarna putih tanpa kerah, dengan celana sebatas mata kaki? 

Ya, itulah baju guntiang, salah satu pakaian tradisional laki-laki Minangkabau yang sarat makna. Meski terlihat sederhana, pakaian ini menyimpan filosofi mendalam tentang identitas, kesopanan, hingga nilai-nilai keislaman yang dipegang erat oleh masyarakat Minang.

Dari “Baju Gunting Cina” hingga Jadi Ikon Budaya


Baju guntiang dikenal juga sebagai baju gunting Cina. Namanya merujuk pada pengaruh budaya Tiongkok yang masuk ke Minangkabau melalui jalur perdagangan sejak abad ke-15. 

Potongan bajunya mirip baju koko modern, namun tanpa kerah dan tanpa saku. Lengan panjangnya terbuat dari kain ganiah – kain katun buatan pengrajin Minangkabau sendiri – dengan warna dominan putih.

Baju ini dirancang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek, hanya sebatas pergelangan tangan. Dipadukan dengan sarawa bapiluruik, celana longgar sebatas mata kaki yang diikat menggunakan paarek (tali dari kain, pengganti karet pada zaman dulu), baju guntiang menjadi busana sehari-hari para lelaki.

Makna Filosofis: Sederhana, Berani, dan Taat Syariat


Lebih dari sekadar pakaian, baju guntiang melambangkan kesederhanaan dan ketaatan pada ajaran Islam. Panjang celana sebatas mata kaki, misalnya, bukan kebetulan. Hal itu mencerminkan anjuran dalam syariat Islam agar pakaian laki-laki tidak melebihi mata kaki.




Warna putih yang mendominasi juga melambangkan kesucian dan keberanian. Dalam adat Minangkabau, pakaian mencerminkan harga diri seseorang.

 “Pakaian adalah bagian dari marwah,” kata sejarawan Minangkabau, Mestika Zed, dalam salah satu penelitiannya.

Dari Rumah ke Pergaulan Sosial


Pada masa lalu, baju guntiang dipakai untuk kegiatan sehari-hari. Lelaki Minangkabau mengenakannya saat di rumah, menerima tamu, atau ketika bertamu ke rumah kerabat.

Pakaian ini juga cocok untuk pertemuan santai, menunjukkan sikap hormat sekaligus tetap nyaman.

Kini, baju guntiang mulai dilirik kembali oleh generasi muda. Banyak komunitas budaya dan kelompok pemuda yang mengenakannya saat acara adat, kajian keagamaan, hingga festival budaya. Hal ini menjadi cara kreatif menjaga identitas budaya di tengah derasnya arus mode modern.


Warisan yang Masih Relevan


Menariknya, gaya celana sebatas mata kaki justru kembali populer di kalangan aktivis dakwah dan komunitas hijrah. Mereka menyebutnya “celana taqwa”. Tanpa disadari, apa yang dianggap tren religi itu sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari adat Minangkabau.

Pelestarian pakaian tradisional seperti baju guntiang bukan sekadar soal busana, tapi cara menghargai sejarah. Di tengah gempuran fesyen global, memakai baju guntiang bisa menjadi pernyataan: “Saya Minang, dan saya bangga.”

Mau tampil sederhana tapi tetap berkelas? Cobalah kenakan baju guntiang di acara santai. Siapa tahu, Anda bukan hanya tampil beda, tapi juga ikut menjaga warisan budaya yang hampir berusia ratusan tahun ini. Makin tahu Indonesia. (*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update