Pasbana - Di tengah dunia yang kerap diguncang perpecahan karena perbedaan agama, suku, maupun pandangan politik, Islam sejatinya telah lama mengajarkan tentang tasamuh—toleransi yang berpijak pada nilai kemanusiaan universal.
Dan teladan terbaik itu datang langsung dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kisahnya sederhana tapi sarat makna. Suatu hari, Rasulullah berdiri ketika sebuah jenazah melintas di hadapannya. Para sahabat terheran-heran karena yang lewat adalah jenazah seorang Yahudi. Tapi Rasul menjawab tenang, “Bukankah ia juga manusia?” (HR. Bukhari).
Sebuah kalimat singkat yang menegaskan: setiap manusia, apapun agamanya, tetap memiliki martabat yang harus dihormati.
Lebih dari Sekadar Wacana
Toleransi bukanlah sekadar jargon indah. Dalam sirah Nabi, ia hadir dalam tindakan nyata. Anas bin Malik meriwayatkan kisah tentang seorang pemuda Yahudi yang sering membantu Rasulullah.
Saat pemuda itu sakit, Nabi mendatanginya, duduk di samping kepalanya, dan menanyakan kabarnya. Gestur sederhana ini menggambarkan kepedulian lintas batas keyakinan—sebuah nilai kemanusiaan yang tak lekang oleh waktu.
Nilai itu juga ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
"Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam... dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra: 70).
Ayat ini menjadi penegasan bahwa setiap manusia, tanpa memandang latar belakang, memiliki kemuliaan yang patut dihargai.
Pilar Toleransi dalam Islam
Ulama menyebut, toleransi dalam Islam bertumpu pada empat pilar utama:
Pengakuan pluralitas sebagai kehendak Allah.
Keadilan dalam interaksi sosial, termasuk dengan non-Muslim.
Kesadaran persaudaraan manusia yang berasal dari satu asal.
Penghormatan martabat manusia secara universal.
Pilar-pilar ini bukan hanya teori. Sejarah mencatat, ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau menyusun Piagam Madinah—dokumen konstitusi pertama yang menjamin kebebasan beragama dan kebersamaan lintas komunitas.
Bahkan, sejarawan Barat seperti Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah sebagai salah satu tonggak awal peradaban multikultural yang modern.
Saat Nabi Memaafkan Musuh
Contoh paling menyentuh terjadi pada peristiwa Fathu Makkah. Setelah bertahun-tahun diusir, dihina, bahkan disiksa, Nabi justru berkata kepada kaum Quraisy: “Tidak ada cercaan atas kalian hari ini. Pulanglah, kalian semua bebas.” (HR. Baihaqi).
Bayangkan, di saat memiliki kuasa penuh untuk membalas dendam, Nabi justru memilih memaafkan.
Di Thaif pun demikian—meski dilempari batu hingga berdarah, doa yang beliau panjatkan bukan kutukan, melainkan permohonan hidayah bagi mereka.
Relevansi di Zaman Sekarang
Di Indonesia, wacana toleransi seringkali diuji, terutama saat perbedaan politik atau keyakinan mengemuka. Namun, sejarah Rasulullah menunjukkan bahwa toleransi bukan berarti mencampuradukkan keyakinan. Islam tetap menegaskan batas: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6).
Artinya, keyakinan tetap dijaga, tetapi ruang sosial, budaya, ekonomi, dan kemanusiaan bisa menjadi titik temu bersama.
Peneliti dari Wahid Foundation dalam surveinya tahun 2023 mencatat bahwa tingkat toleransi masyarakat Indonesia relatif tinggi, terutama di kalangan muda.
Namun, masih ada pekerjaan rumah besar: bagaimana menyalakan semangat toleransi agar tak sekadar slogan, melainkan praktik keseharian—seperti yang telah dicontohkan Nabi 14 abad lalu.
Menjaga Harmoni Bersama
Teladan Rasulullah menegaskan bahwa toleransi bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan moral. Di dunia yang semakin plural, sikap ini adalah fondasi untuk menjaga harmoni.
Sebagaimana doa yang sering kita panjatkan: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201).
Maka, toleransi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Dari rumah, sekolah, hingga ruang publik, mari kita hidupi kembali ajaran Nabi tentang menghargai sesama manusia.
Karena pada akhirnya, keberagaman adalah anugerah, bukan ancaman.(*)