Notification

×

Iklan

Iklan

Fenomena “Kemiskinan Jiwa” di Era Modern

03 September 2025 | 07:55 WIB Last Updated 2025-09-03T00:55:37Z


Pasbana - Di era serba digital ini, hampir semua orang sibuk mengejar kesuksesan materi. Gaji besar, rumah megah, dan liburan ke luar negeri sering dianggap sebagai ukuran kebahagiaan.

Namun, di balik gemerlap itu, ada persoalan yang jarang dibicarakan: kemiskinan hati—sebuah kondisi batin ketika manusia tak pernah merasa cukup, meski harta berlimpah.

Kekayaan Tak Selalu Membawa Tenang


Fenomena ini nyata. Menurut laporan World Happiness Report 2024, kebahagiaan masyarakat tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat ekonomi. 

Negara-negara dengan pendapatan tinggi belum tentu lebih bahagia dibanding negara dengan pendapatan menengah. 

Artinya, isi dompet bukan jaminan ketenangan jiwa.
Seorang pegawai dengan gaji pas-pasan bisa merasa lebih bahagia karena puas dengan apa yang dimiliki. 

Sebaliknya, pejabat atau pengusaha kaya justru terjerat kasus korupsi karena tak pernah puas. 

Rasa takut miskin membuat banyak orang mengambil jalan pintas—pinjaman riba, gaya hidup konsumtif, hingga praktik culas.

Ilusi yang Menggerogoti


Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Aulia Iskandar, menyebut kondisi ini sebagai paradox of choice. “Semakin banyak pilihan dan kesempatan yang kita punya, semakin besar juga rasa cemas karena takut kehilangan atau merasa kurang,” ujarnya. 

Hal inilah yang menjadikan manusia modern sering terjebak dalam lingkaran never enough.

Al-Qur’an sendiri sudah mengingatkan, “Setan menjanjikan kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia dari-Nya” (QS. Al-Baqarah: 268).

Religius Tapi Miskin Akhlak?


Menariknya, kemiskinan hati tak hanya tampak dalam soal materi, tetapi juga dalam dimensi moral. 

Banyak orang yang tampak religius—rajin beribadah, bahkan kerap berangkat umrah—namun tetap menzalimi sesama. Ini menunjukkan ibadah yang dilakukan hanya sebatas ritual, belum menyentuh pembentukan akhlak.

Fenomena ini senada dengan penelitian Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta yang menemukan adanya kesenjangan antara tingginya praktik keagamaan dengan rendahnya kepedulian sosial.

Belajar Merasa Cukup


Lalu bagaimana keluar dari jebakan ini? Kuncinya ada pada qana’ah—sikap menerima dan bersyukur atas apa yang dimiliki. 

Nabi Muhammad SAW bersabda, Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kaya hati.”

Langkah sederhana bisa dimulai dari mengurangi perilaku konsumtif, memperbanyak rasa syukur, hingga memperkuat hubungan sosial. Banyak penelitian psikologi positif menunjukkan bahwa rasa syukur mampu meningkatkan kebahagiaan lebih besar dibanding peningkatan penghasilan.

Harapan Bersama


Di tengah hiruk pikuk modern, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita benar-benar bahagia, atau hanya terlihat bahagia? 

Pada akhirnya, kesejahteraan jiwa lebih berharga daripada angka saldo rekening.

Semoga kita semua diberi hati yang tenang, rezeki yang halal, kesehatan, dan keberkahan—karena kekayaan sejati bukan ada di dompet, melainkan di dalam hati.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update