Notification

×

Iklan

Iklan

Kato Nan Ampek: Warisan Sopan Santun Minangkabau yang Mulai Terkikis

10 September 2025 | 08:36 WIB Last Updated 2025-09-10T01:36:53Z


Pasbana - Bayangkan suasana sebuah acara keluarga besar di Minangkabau. Di ruang tamu, seorang kemenakan berbicara hati-hati kepada mamaknya (paman dari garis ibu). Ia memilih kata yang tepat, nada yang halus, dan ekspresi penuh hormat. 

Di sisi lain, para tetua adat menyimak dengan tenang, sesekali menambahkan petuah dengan bahasa kiasan yang sarat makna. Semua orang paham tempatnya, semua tahu bagaimana harus berbicara.

Inilah yang disebut “Kato Nan Ampek”, salah satu inti dari adat dan etika komunikasi masyarakat Minangkabau. 

Bagi orang Minang, berbicara bukan sekadar menyampaikan kata, tapi juga menjaga hubungan, menimbang perasaan lawan bicara, serta menempatkan diri sesuai adat.


Falsafah Hidup Orang Minang

Minangkabau, yang mendiami sebagian besar Sumatera Barat, dikenal luas sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat.

Falsafah hidup mereka dirangkum dalam pepatah terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Artinya, adat Minang bersandar pada ajaran agama Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Filosofi ini tidak hanya menjadi pedoman hidup, tapi juga menyatu dalam perilaku sehari-hari. Mulai dari cara bermusyawarah, tata krama di nagari (desa adat), hingga cara menyusun bahasa dalam percakapan.


Apa Itu Kato Nan Ampek?

Secara sederhana, Kato Nan Ampek adalah aturan sopan santun dalam berbicara. Ia mengajarkan bahwa setiap orang harus tahu bagaimana menempatkan diri saat berbicara dengan orang lain—apakah lawan bicaranya lebih tua, sebaya, atau lebih muda.

Empat pilar utama Kato Nan Ampek adalah:

Kato Mandaki
– tutur kata dari yang muda kepada yang lebih tua atau dituakan. Bahasa penuh hormat, lembut, dan sopan.

Kato Malereng
– kata-kata kiasan yang biasanya dipakai orang bijak. Cocok untuk menyampaikan pesan dengan halus, terutama kepada kerabat dekat.

Kato Mandata – bahasa untuk orang yang sebaya atau setara. Intinya menjaga kesopanan dalam pergaulan sehari-hari tanpa merendahkan.

Kato Manurun – bahasa dari yang lebih tua kepada yang lebih muda, atau dari pemimpin kepada bawahan. Walau menasihati, tetap harus dengan kasih sayang.

Dengan aturan ini, komunikasi tidak sekadar lancar, tapi juga menjaga harmoni sosial.

Relevansi di Zaman Modern


Namun, seiring perkembangan zaman, aturan ini mulai jarang dipraktikkan. Generasi muda lebih terbiasa dengan gaya bicara cepat, singkat, bahkan cenderung keras lewat media sosial. 

Di sinilah muncul kekhawatiran: apakah Kato Nan Ampek hanya akan tinggal dalam buku sejarah adat?

Sosiolog dari Universitas Andalas, Dr. Eliza Syamsuarni, menyebut bahwa perubahan gaya hidup dan arus globalisasi memang memengaruhi cara orang Minang berkomunikasi. “Bila Kato Nan Ampek ditinggalkan, maka hilang pula identitas sopan santun yang selama ini menjadi ciri khas Minangkabau,” ujarnya dalam sebuah penelitian (2020).

Hal serupa disampaikan Litia Khairiah, peneliti bahasa dan budaya Minang. Ia menekankan bahwa Kato Nan Ampek bukan sekadar tata bahasa, melainkan alat perekat sosial. Tanpanya, konflik dalam keluarga atau masyarakat bisa lebih mudah terjadi.


Belajar Sopan Santun Lewat Bahasa


Bagi masyarakat Minang, bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tapi juga alat pendidikan karakter. Seorang anak Minang sejak kecil diajarkan bagaimana berbicara kepada orang tua, sesama teman, hingga adik-adiknya.

Prinsip ini sejalan dengan pepatah Minang: “alam takambang jadi guru”—segala sesuatu di alam bisa jadi pelajaran. Maka, berbahasa sopan bukan sekadar aturan, melainkan bagian dari cara menjaga keseimbangan hidup.

Menjaga Warisan di Tengah Globalisasi


Kini, banyak komunitas adat dan akademisi di Sumatera Barat berupaya menghidupkan kembali Kato Nan Ampek, baik melalui kurikulum sekolah, pelatihan adat di nagari, hingga program kebudayaan.
Upaya ini penting, sebab warisan seperti Kato Nan Ampek adalah kekayaan budaya tak ternilai. 

Di tengah dunia yang serba cepat dan instan, kearifan lokal seperti ini justru bisa menjadi “rem” agar generasi muda tidak kehilangan identitas dan etika.

Seperti kata pepatah Minang: “kok hilang adat, habihlah pusako; kok hilang sopan, rusaklah nagari”. Jika adat dan sopan santun lenyap, maka runtuhlah sendi kehidupan masyarakat. Makin tahu Indonesia. (*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update