Notification

×

Iklan

Iklan

Menyambut Gerhana Bulan: Antara Tanda Kebesaran Allah dan Pesona Sains

07 September 2025 | 22:14 WIB Last Updated 2025-09-07T15:28:36Z


Pasbana - Langit malam 8 September 2025 (15 Rabiul Awal 1447 H) akan menghadirkan pemandangan langka: gerhana bulan. 

Fenomena ini selalu berhasil memikat manusia, baik sebagai tontonan indah maupun sebagai momen renungan spiritual.

Bagi umat Islam, gerhana bukan sekadar peristiwa alam biasa. Rasulullah SAW menekankan bahwa gerhana adalah tanda kebesaran Allah, bukan pertanda kematian atau musibah tertentu. 

Pesan ini sekaligus menepis berbagai takhayul yang dulu melekat pada fenomena langit.

Islam Meluruskan Mitos


Sejarah mencatat, pada tahun 632 M terjadi gerhana bertepatan dengan wafatnya putra Nabi Muhammad SAW, Ibrahim.

Sebagian orang mengira gerhana itu tanda berkabung alam semesta. Rasulullah segera meluruskan: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah… keduanya tidaklah gerhana karena kematian seseorang” (HR Bukhari-Muslim).

Pesan tersebut jelas: jangan terjebak mitos, melainkan jadikan gerhana sebagai sarana beribadah, berdoa, dan mengingat Sang Pencipta.

Kisah ini menarik jika dibandingkan dengan sejarah di Eropa. Pada 1504, pelaut Christopher Columbus memanfaatkan gerhana bulan untuk menakuti penduduk asli Jamaika agar mau memberinya makanan. 

Ia berhasil karena masyarakat saat itu belum memahami astronomi. Di sinilah bedanya: Islam justru mengajak umatnya menghadapi gerhana dengan ilmu dan iman, bukan rasa takut.

Antara Ibadah dan Ilmu Pengetahuan


Dalam tradisi Islam, shalat gerhana (khusuf) dianjurkan sebagai bentuk syukur dan pengingat akan kebesaran Allah. 

Para ulama memang berbeda pendapat soal teknisnya—ada yang menganjurkan berjamaah, ada pula yang menekankan dilakukan secara pribadi. 

Namun intinya tetap sama: gerhana adalah momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan modern juga memberi kita pemahaman lebih luas tentang peristiwa ini. 

Gerhana bulan terjadi ketika bumi berada tepat di antara matahari dan bulan, sehingga bayangan bumi menutupi cahaya bulan. 

Fenomena ini tidak berbahaya, justru aman untuk dinikmati langsung dengan mata telanjang.

Tujuh Lapisan Langit dan Pesan Ilmiah Al-Qur’an


Al-Qur’an berulang kali menyebut “tujuh langit”. Tafsir klasik menekankan makna agung dari istilah ini, sementara ilmu pengetahuan modern mengungkap bahwa atmosfer bumi memang tersusun dari beberapa lapisan: troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer, hingga eksosfer, masing-masing dengan fungsi penting. 

Lapisan ozon, misalnya, melindungi manusia dari radiasi ultraviolet berbahaya, sementara ionosfer memantulkan gelombang radio untuk komunikasi jarak jauh.

Fenomena gerhana menjadi jendela kecil untuk menyadari betapa rapinya sistem alam semesta. Langit yang terlihat sederhana ternyata menyimpan struktur luar biasa yang menjaga kehidupan di bumi.

Momentum Renungan Bersama


Di balik keindahan langit malam, gerhana bulan mengingatkan kita pada hal-hal mendasar: menjaga shalat, memperbanyak doa, berdzikir, dan meningkatkan kepedulian sosial. 

Rasulullah SAW bahkan mengingatkan umatnya agar tidak melupakan shalat Subuh dan Asar—dua waktu yang sering lalai ditunaikan.

Gerhana bulan, dengan segala pesona astronomi dan spiritualitasnya, bisa menjadi ajakan lembut untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia. 

Menatap langit yang gelap lalu terang kembali, manusia seakan diingatkan: sebesar apa pun masalah, ia akan berlalu.

Jadi, saat gerhana bulan nanti, jangan hanya sibuk memotret langit. Luangkan waktu untuk merenung, bersyukur, dan mungkin menunaikan shalat gerhana. 

Sebab, seperti kata seorang astronom, “Langit bukan hanya untuk dipandang, tapi juga untuk dipahami.” Dan bagi orang beriman, tentu juga untuk mendekat kepada Sang Pencipta.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update