Notification

×

Iklan

Iklan

Sumbar Harus Berlari Mengejar Rumah Rakyat

27 September 2025 | 10:10 WIB Last Updated 2025-09-27T03:10:08Z
 

Padang, pasbana - Rumah bukan sekadar atap yang melindungi dari hujan. Ia adalah panggung utama kehidupan—tempat anak-anak belajar tentang dunia, tempat keluarga menata masa depan, dan tempat kita kembali ketika dunia luar terlalu bising.

Karena itu, setiap kali negara berbicara soal program perumahan, seharusnya yang kita bayangkan bukan deretan bangunan seragam, melainkan masa depan yang lebih manusiawi.

Rapat evaluasi pembangunan perumahan di Sumatera Barat pekan ini (25/09) menjadi momen penting untuk menagih komitmen itu. 

Angkanya memang terlihat menggembirakan: 6.577 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sudah berdiri sepanjang 2025.

Namun angka hanyalah angka. Masih ada backlog perumahan yang menghantui, keterbatasan lahan di kota-kota, dan permukiman kumuh yang tumbuh diam-diam seperti jamur di musim hujan.

Persoalan perumahan tidak bisa lagi dilihat sebagai proyek fisik belaka. Gubernur Sumbar Mahyeldi mengingatkan dengan tepat: rumah adalah pondasi kualitas hidup. 

Maka, yang kita butuhkan adalah pembangunan yang bukan hanya cepat, tetapi juga cerdas—ramah lingkungan, tahan bencana, dan berpihak pada masyarakat kecil. 

Apalagi, Sumbar berada di wilayah rawan gempa. Rumah yang cantik tapi roboh saat diguncang gempa jelas bukan solusi.

Pemerintah pusat sudah melempar bola: target 4,9 juta rumah hingga 2029. Artinya, daerah harus berlari lebih kencang. Tak cukup hanya menunggu anggaran turun dari pusat. 

Dibutuhkan terobosan—mulai dari skema pembiayaan inovatif, keterlibatan swasta, hingga insentif seperti pembebasan biaya BPHTB dan PBG bagi MBR.

Lebih dari itu, ada PR yang tak kalah penting: memastikan rumah yang dibangun benar-benar ditempati oleh mereka yang berhak, bukan sekadar menjadi investasi segelintir orang. Jika tidak, program “tiga juta rumah” hanya akan menjadi tiga juta foto seremoni serah kunci.

Sumatera Barat memiliki kekayaan kearifan lokal, termasuk arsitektur rumah gadang yang bisa menjadi inspirasi pembangunan rumah yang adaptif dan kuat. 

Inilah saatnya pemerintah daerah menunjukkan keberpihakan nyata: bukan hanya membangun rumah, tapi juga membangun kehidupan yang lebih layak.
Rumah adalah hak, bukan privilese. 

Dan hak itu seharusnya tidak ditunda-tunda. Karena setiap hari yang terlewat tanpa solusi perumahan berarti ada satu keluarga lagi yang harus tidur dengan atap bocor atau dinding reyot.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update