Pasbana - Pernahkah Anda merasa hidup ini hanya berputar di seputar mengejar harta, rebahan tanpa tujuan, atau sibuk mencari validasi orang lain?
Jika ya, Anda tidak sendirian. Fenomena ini bahkan sudah diingatkan ribuan tahun lalu.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Takutlah kalian kepada neraka walau hanya dengan bersedekah sebutir kurma. Jika tidak mampu, maka dengan perkataan yang baik.”
Pesan itu sederhana: hidup bukan sekadar mengumpulkan materi, tetapi juga berbuat kebaikan – sekecil apa pun. Namun di era serba cepat seperti sekarang, kita sering lupa.
Orang yang Kian Rakus Mengejar Dunia
Secara ideal, usia yang semakin matang membuat seseorang semakin bijak. Tetapi realitanya, banyak yang justru semakin sibuk menumpuk harta seolah-olah akan hidup selamanya.
Survei Katadata (2023) menunjukkan 67% generasi usia 50+ di Indonesia masih aktif bekerja bukan hanya karena kebutuhan, tetapi juga demi gaya hidup.
Fenomena ini sejalan dengan peringatan Al-Qur’an:
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS. Al-Humazah: 1–3)
Psikolog klinis Anisa Setiawati, M.Psi, mengatakan, “Rasa takut kehilangan harta sering membuat orang lupa menikmati hidup. Padahal, ketenangan justru datang dari rasa cukup.”
Pemuda yang Malas dan Kehilangan Arah
Generasi muda adalah motor perubahan, tetapi kemalasan kini menjadi tantangan serius.
Data BPS 2024 mencatat tingkat pengangguran terbuka usia 15–24 tahun mencapai 16,42% – tertinggi dibanding kelompok usia lain.
Padahal Rasulullah SAW mengingatkan:
“Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu olehnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Fenomena “rebahan culture” memang populer, tetapi jika dibiarkan, bisa berujung hilangnya potensi generasi emas.
Psikolog perkembangan remaja menyarankan agar pemuda mengisi waktu dengan kegiatan produktif, seperti belajar skill baru, bergabung komunitas, atau berolahraga.
Riya’ di Era Media Sosial
Bahaya riya’ (pamer amal) mungkin semakin nyata di era digital. Unggahan kebaikan di media sosial kadang dilakukan bukan untuk menginspirasi, melainkan untuk mencari pujian.
Rasulullah menyebut riya’ sebagai “syirik kecil” yang bisa menghanguskan pahala amal (HR. Ahmad).
Pakar komunikasi digital, Dr. Rulli Nasrullah, menegaskan bahwa digital virtue signaling bisa menjadi jebakan: “Motivasi kita penting. Jika tujuan utamanya hanya validasi sosial, kita bisa kehilangan makna dari perbuatan itu sendiri.”
Renungan untuk Kita Semua
Baik orang tua, pemuda, maupun mereka yang rajin beribadah, kita diajak untuk kembali menata niat.
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Hasyr: 18:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).”
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).”
Menghadapi zaman yang penuh distraksi, menjaga hati agar tetap tulus, produktif, dan tidak terjebak dalam perlombaan dunia adalah tantangan bersama.
Dan, seperti pesan Nabi, jika tidak bisa memberi materi, setidaknya kita bisa memberi kebaikan melalui kata-kata yang menyejukkan. (*)