Notification

×

Iklan

Iklan

17,3 Persen Anak Muda Indonesia Menganggur

29 Oktober 2025 | 13:21 WIB Last Updated 2025-10-29T06:21:10Z


Pasbana - Ekonomi tumbuh, tapi dompet tetap kempis. Itulah paradoks yang tengah dialami banyak anak muda Indonesia hari ini. 

Angka pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran lima persen seolah jadi tameng kebanggaan nasional. 

Namun, laporan terbaru Morgan Stanley dan Bank Dunia berjudul Asia Faces Rising Youth Unemployment Challenge menyingkap sisi lain dari cerita “sukses” itu: 17,3 persen anak muda Indonesia ternyata masih menganggur.

Sialnya lagi, angka itu hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya, mengintai masalah yang lebih pelik — underemployment, atau setengah pengangguran. 

Banyak orang memang punya pekerjaan, tapi tak sesuai kemampuan, atau gajinya bahkan tak cukup untuk hidup layak. Bahasa sederhananya: kerja keras, tapi hidup tetap seret.

Yang lebih ironis, sekitar 59 persen lapangan kerja baru yang tercipta justru datang dari sektor informal — pekerjaan tanpa jaminan sosial, tanpa asuransi ketenagakerjaan, tanpa kepastian. 

Hidup di bawah payung ekonomi yang “fleksibel” ini, para pekerja seolah jadi akrobat yang meniti kawat tipis antara bertahan dan terjatuh.

Pertanyaannya: mengapa masalah ini seperti benang kusut yang tak kunjung bisa diurai?

Adrian, seorang pengamat ekonomi, melihat ada jurang menganga antara pertumbuhan dan kesejahteraan.

 “Pertumbuhan empat sampai lima persen itu tak berarti banyak kalau penyerapan tenaga kerja tetap seret,” katanya.

 Indonesia memang tumbuh, tapi lapangan kerjanya kerdil. Apalagi, investasi asing — yang diharapkan bisa membuka pabrik dan menyerap tenaga kerja — juga tak banyak datang. Padahal, tenaga kerja berlimpah. 

Akhirnya, yang melimpah justru lamaran kerja yang tak terbaca.

Adrian berpendapat, pemerintah perlu mendefinisikan ulang apa itu “bekerja” di era digital. Sekarang, banyak anak muda lebih memilih jadi freelancer ketimbang menunggu lowongan formal yang tak kunjung datang. 

Tapi, tanpa payung hukum yang jelas, para pekerja gig economy itu seperti naik ojek tanpa helm — cepat, tapi rawan cedera.

Peningkatan literasi digital dan perencanaan tenaga kerja nasional jadi mutlak. Tanpa itu, ekonomi digital bisa jadi pisau bermata dua: menguntungkan segelintir, tapi menyingkirkan banyak.

Adrian pun merinci tiga hal krusial yang mesti dibenahi: tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance), sistem pendidikan yang relevan, dan hukum ketenagakerjaan yang adaptif. 

Pemerintah, katanya, perlu menciptakan iklim yang menenangkan bagi investor, bukan yang penuh teka-teki dan drama regulasi.

Namun, semua itu tak akan berarti tanpa fondasi pendidikan yang kuat. Kurikulum kita perlu direvisi agar tak lagi mengajarkan “hafalan”, tapi keahlian yang dibutuhkan zaman. Dunia kerja tak menunggu ijazah; ia menunggu kemampuan.

Karena pada akhirnya, masalah pengangguran bukan sekadar tentang angka statistik. Ia adalah soal masa depan — tentang generasi muda yang ingin punya harapan, bukan sekadar pekerjaan. 

Dan jika ekonomi lima persen tak bisa memberi ruang bagi mereka, mungkin sudah saatnya kita berhenti bertepuk tangan pada grafik pertumbuhan, dan mulai bertanya: siapa sebenarnya yang sedang tumbuh?
(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update