Tanah Datar, pasbana - Tanah Datar dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Sumatera Barat. Hamparan sawah hijau di kaki Gunung Marapi dan Singgalang menjadi penopang hidup mayoritas masyarakatnya.
Tak kurang dari 70 persen penduduk Tanah Datar menggantungkan hidup dari sektor pertanian, terutama padi. Namun, di balik keindahan lanskap itu, ada cerita klasik yang masih menghantui: mahalnya biaya bertanam.
Melihat kenyataan tersebut, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar meluncurkan program unggulan bernama Babendi (Bantuan Bertanam Padi).
Program ini resmi diluncurkan Bupati Eka Putra, SE, MM pada Kamis (2/10/2025) di halaman Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Sungai Tarab.
Babendi merupakan kelanjutan dari program bajak gratis yang sebelumnya digulirkan pemerintah daerah.
“Program ini lahir dari pengamatan langsung di lapangan. Banyak petani penggarap dengan lahan terbatas kewalahan dengan biaya tanam. Babendi hadir untuk meringankan beban mereka dan memperkuat ketahanan pangan daerah,” ujar Eka Putra.
Melalui Babendi, pemerintah memberikan bantuan biaya tanam sebesar Rp800 ribu per hektare, khusus bagi petani yang tergabung dalam kelompok tani dan terdaftar di sistem Simluhtan.
Total anggaran yang dikucurkan mencapai Rp17 miliar untuk optimalisasi lahan seluas 5.476 hektare. Selain itu, bantuan benih padi juga digelontorkan untuk 402 kelompok tani di Tanah Datar.
Kepala Dinas Pertanian, Sri Mulyani, menjelaskan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Tanah Datar mencapai 27,16 persen dari PDRB—tertinggi dibandingkan 17 sektor usaha lainnya. Dengan luas lahan sawah mencapai 21.610 hektare, padi jelas menjadi komoditas kunci.
“Program ini bukan hanya menekan biaya produksi, tapi juga diharapkan meningkatkan produktivitas sehingga pendapatan petani ikut naik. Ini bagian dari upaya mendukung swasembada pangan nasional,” jelas Sri Mulyani.
Bagi petani, biaya produksi memang menjadi persoalan besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), biaya tanam padi di Sumatera Barat bisa mencapai Rp6–8 juta per hektare.
Beban itu mencakup ongkos tenaga kerja, benih, pupuk, hingga sewa lahan. Tak heran jika banyak petani kecil kerap merugi, apalagi saat harga gabah turun.
Program seperti Babendi diharapkan bisa jadi “angin segar”. “Kalau ada bantuan seperti ini, tentu sangat membantu. Setidaknya bisa menutup biaya awal, jadi kami tidak perlu lagi berutang ke tengkulak,” ujar Yusrizal, seorang petani di Kecamatan Sungai Tarab, saat ditemui usai acara.
Babendi bukan sekadar program sementara. Ia sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tanah Datar 2025–2029 sebagai program unggulan sektor pertanian. Bahkan, Kementerian Pertanian RI ikut mendukung dengan skema bantuan benih dan pengembangan lahan.
“Ini momentum memperkuat komitmen bersama. Dengan Babendi, kami ingin membangun kemandirian pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani Tanah Datar,” tegas Bupati Eka Putra.
Tak bisa dimungkiri, sektor pertanian masih jadi tulang punggung perekonomian daerah. Tanah Datar bahkan dikenal sebagai salah satu sentra produksi beras di Sumatera Barat.
Data BPS menunjukkan, provinsi ini menyumbang sekitar 2,4 juta ton gabah kering giling per tahun, dan Tanah Datar termasuk penyumbang signifikan.
Di sisi lain, tantangan besar seperti perubahan iklim, fluktuasi harga gabah, serta biaya input yang terus naik membuat petani rentan.
Karena itu, Babendi menjadi salah satu langkah konkret pemerintah daerah dalam melindungi basis pangan sekaligus menyejahterakan petani.
Peluncuran Babendi dihadiri oleh Forkopimda, perwakilan Bank Indonesia Sumbar, DJPb Sumbar, serta berbagai pejabat daerah. Kehadiran banyak pihak itu seakan menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menguatkan pondasi pangan daerah.
Peluncuran Babendi dihadiri oleh Forkopimda, perwakilan Bank Indonesia Sumbar, DJPb Sumbar, serta berbagai pejabat daerah. Kehadiran banyak pihak itu seakan menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menguatkan pondasi pangan daerah.
Program ini tentu bukan solusi instan. Namun, sebagai upaya nyata, Babendi bisa menjadi pijakan awal menuju pertanian yang lebih efisien, produktif, dan berkelanjutan.
Seperti yang disampaikan seorang petani muda, Rani (28), “Kalau biaya produksi bisa ditekan, kami bisa lebih semangat turun ke sawah. Pertanian jadi tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan yang berat, tapi sebagai masa depan.”(*)