Ketika cinta, amarah, dan alam berpadu membentuk Danau Maninjau yang abadi
Pasbana - Kabut turun perlahan di atas perbukitan hijau Maninjau. Dari Puncak Lawang, air danau terbentang sejauh mata memandang—tenang, biru, seolah menjadi cermin raksasa bagi langit Sumatera Barat.
Di balik ketenangan itu, tersimpan kisah tentang letusan gunung, cinta yang difitnah, dan sumpah yang mengubah wajah bumi selamanya.
Ribuan tahun lalu, di tempat ini berdiri gagah sebuah gunung berapi: Gunung Sitinjau. Ia bukan sekadar tumpukan batu, melainkan jantung bumi yang berdenyut di jantung Minangkabau.
Sekitar 52.000 tahun silam, gunung itu meledak dalam amarah yang tak terbayangkan.
Letusannya meluluhlantakkan hutan, lembah, dan kampung purba, lalu meruntuhkan tubuhnya sendiri ke dalam perut bumi.
Dari kehancuran itu lahirlah sebuah cekungan besar yang kemudian terisi air — Danau Maninjau, kaldera raksasa yang menjadi saksi bisu pertemuan cinta dan kutukan.
Namun, keindahan yang kita nikmati hari ini juga menyimpan cerita yang mengharu biru.
Masyarakat setempat mengenalnya sebagai Kisah Bujang Sembilan.
Di kaki Gunung Sitinjau, dahulu hidup seorang gadis bernama Siti Rasani, anak bungsu dari sepuluh bersaudara.
Sembilan kakaknya menjaga kehormatan keluarga dengan tangan besi. Siti adalah mutiara rumah, gadis berwajah teduh dan berhati lembut, yang setiap langkahnya diiringi doa dan harapan.
Suatu hari, di tepian sungai yang jernih, ia bertemu Giran, pemuda sederhana yang hidup dari menangkap ikan dan meramu bambu. Ia miskin, tapi punya tatapan jujur, dan tutur katanya lembut seperti air yang mengalir di bawah rumpun pandan.
Dari pertemuan singkat itu tumbuh cinta diam-diam, cinta yang tak butuh kata, cukup dengan saling mengerti dalam diam.
Namun, kisah suci mereka berubah menjadi malapetaka ketika desas-desus fitnah menyebar. Orang-orang berkata Siti telah menodai kehormatan keluarga. Sembilan kakaknya murka. Mereka tak memberi ruang bagi pembelaan; tak ada tempat untuk mendengarkan kebenaran dari bibir seorang perempuan.
Dalam keputusan yang dingin, mereka menyeret Siti dan Giran ke puncak gunung. Kawah Sitinjau menganga di hadapan mereka, panas, beruap, seolah menjadi mulut neraka yang siap menelan segalanya.
Siti hanya menatap kosong. Giran, dengan sisa keberanian terakhir, menengadah ke langit.
“Jika kami berdosa,” katanya pelan, “biarlah tubuh ini habis oleh api. Tapi jika kami tidak bersalah, biarlah gunung ini menjadi saksi. Biarlah ia meledak dan mengutuk mereka yang menuduh menjadi ikan di dalam kawahnya.”
Dan sumpah itu mengguncang dunia.
Bumi bergetar, langit memerah. Petir memecah udara seperti cambuk api.
Gunung Sitinjau berteriak, memuntahkan batu dan lahar, menghancurkan segalanya dalam ledakan yang menandai akhir satu zaman.
Desa-desa lenyap ditelan gelombang panas, dan tubuh gunung ambruk ke dalam dirinya sendiri, membentuk sebuah cekungan raksasa yang perlahan terisi air dari hujan dan sungai.
Sejak saat itu, kawah purba itu berubah menjadi danau. Airnya tenang, tapi dalam di bawah permukaannya tersimpan amarah dan penyesalan. Orang-orang percaya, ikan-ikan yang berenang di sana adalah Bujang Sembilan, para saudara yang dikutuk abadi oleh sumpah cinta dan keadilan.
Ratusan generasi telah lewat. Gunung Sitinjau tinggal legenda, tapi Danau Maninjau tetap hidup — menjadi nadi bagi masyarakat sekitarnya.
Di tepian danau berdiri Sembilan Nagari, desa-desa adat yang menjadi warisan kisah itu. Mereka hidup berdampingan dengan air yang memberi penghidupan, sekaligus menyimpan peringatan.
Hari ini, untuk menikmati keindahan Maninjau, orang-orang menempuh jalan berliku yang juga melegenda: Kelok 44.
Tikungan demi tikungan menurun tajam, memeluk tebing curam dan menantang nyali siapa pun yang melaluinya. Tapi di setiap belokannya, terbuka pemandangan yang membuat napas tercekat — air danau yang memantulkan langit, diselimuti kabut tipis, sementara angin membawa aroma tanah basah dan suara burung dari hutan kaldera.
Di Puncak Lawang, tempat terbaik memandang seluruh danau dari ketinggian, kabut kadang turun seperti tirai putih yang menutupi masa lalu. Saat senja, langit Maninjau berwarna jingga keemasan, seolah alam tengah menenangkan luka lamanya sendiri.
Dan ketika malam tiba, air danau berkilau memantulkan bintang.
Konon, setiap gemericik air itu adalah bisikan Siti Rasani — mengingatkan manusia agar tak menukar kebenaran dengan prasangka.
Danau Maninjau bukan sekadar keindahan alam. Ia adalah cermin kehidupan. Tenang di permukaan, tapi menyimpan riak dalam yang tak terlihat.
Ia mengajarkan bahwa cinta sejati bisa menembus batas waktu, dan bahwa keadilan, meski datang terlambat, akan selalu menemukan jalannya — entah lewat sumpah seorang manusia, atau letusan sebuah gunung purba.
Kini, di tepian danau itu, masyarakat hidup damai dengan alam yang dulu mengamuk. Mereka menanam padi, menangkap ikan, dan bercerita pada anak-anak tentang legenda lama.
Dan setiap kali matahari terbit di atas air Maninjau, mereka tahu: dari kehancuran yang paling gelap pun, keindahan bisa lahir kembali. Makin tahu Indonesia.
(*)
(*)