By : Dea Filzah Raisya Dimitri
Pasbana - Fenimisme dalam sastra Australia memiliki sejarah panjang dalam membuka jalan dan memperluas peran perempuan di mata masyarakat. Pada awal abad ke -20, sastra yang memiliki unsur feminisme mulai terlihat dengan adanya gerakan sosial dan politik wanita di Australia.
Tokoh perempuan akhirnya memiliki kedudukan yang setara dengan pria di dalam karya sastra seperti puisi, novel hingga cerpen, mereka digambarkan memiliki perjuangan dan mimpi untuk melawan patriarki.
Perempuan penulis di Australia dari berbagai latar belakang, termasuk perempuan Aborigin, menggunakan karya mereka sebagai alat dan bentuk menantang label sosial dan memperjuangkan peran dan martabat perempuan.
Perjalanan feminisme dalam sastra Australia memiliki banyak periode penting. Karya milik Miles Franklin yang berjudul My Brilliant Career yang ditulis pada tahun 1901, menjadi awal mula feminisme dalam sejarah sastra Australia. Novel ini dibuat nya saat ia masih berusia 19 tahun yang memiliki dampak sangat besar.
Menceritakan tokoh utama seorang gadis muda yang tidak menginginkan jalan hidup biasa: menikah, menjadi istri, dan hidup dalam peran domestik yang diberi nama Sybylla Melvyn. Justru bercita cita menjadi penulis dan mengejar kebebasan diri.
Pada masa itu, karya ini dianggap berani karena sangat menentang patriarki dan normal sosial yang sangat membatasi perempuan, tidak hanya itu namun juga menginspirasi generasi berikutnya bahwa perempuan bisa membuat pilihan lain dalam hidup.
Feminisme dalam sastra Australia tidak luput dari perjuangan perempuan Aborigin. Pada tahun 1964, buku kumpulan puisi pertama yang berjudul We Are Going karya Oodgeroo Noonuccal yang merupakan seorang perempuan Aborigin.
Meskipun fokus utamanya tentang isu kolonialisme, identitas budaya, dan hak tanah. karya milik Oodgeroo juga mengangkat pengalaman perempuan sebagai bagian dari perjuangan yang lebih besar.
Karyanya menegaskan bahwa Australia memiliki feminisme yang berbeda dengan feminisme di Barat: kesetaraan gender tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dalam melawan penindasan rasial dan kolonial untuk perempuan Aborigin.
Pada abad ke-21, feminisme dalam sastra Australia semakin kompleks. Penulis seperti Hannah Kent dengan novel Burial Rites (2013) menghadirkan tokoh perempuan yang terjebak dalam sistem hukum patriarki.
Novel ini berdasarkan kisah nyata seorang perempuan Islandia bernama Agnes Magnusdottir yang dihukum mati. Meskipun tidak berlatar Australia, novel ini mencerminkan perhatian penulis Australia pada nasib perempuan dalam sejarah yang sering dipinggirkan.
Pada tahun 1970-an, gelombang kedua feminisme dunia seiring dengan feminisme dalam sastra Australia. Helen Garner adalah salah satu penulis penting karna Novelnya yang dianggap berani karena membahas kehidupan urban, cinta bebas, seksualitas, dan perjuangan perempuan muda di Melbourne, tetapi juga rentan dan penuh dilema.
Novel berjudul Monkey Grip ini ditulisnya pada tahun 1977. Di sisi lain, Melissa Lucashenko, seorang penulis Aborigin, menulis Too Much Lip (2018) yang penuh humor sekaligus membahas kritik sosial. Novel ini menampilkan tokoh perempuan Aborigin yang keras kepala, lucu, dan penuh konflik, tetapi juga menyuarakan trauma, identitas, dan perjuangan komunitasnya.
Begitu juga Tara June Winch dalam The Yield (2019) yang berhasil memenangkan banyak penghargaan. Novel ini menggabungkan isu bahasa, tanah, dan keluarga, sambil menyoroti bagaimana perempuan berperan penting dalam menjaga tradisi sekaligus menghadapi luka kolonialisme.
Ada beberapa tema penting yang terus muncul dalam perjalanan panjang karya sastra feminis Australia. Penolakan terhadap peran domestik tradisional merupakan salah satunya. Tokoh perempuan kerap digambarkan tidak hanya sebagai istri maupun ibu rumah tangga, tetapi sebagai individu yang mempunyai, cita cita, mimpi dan keinginan untuk mandiri.
Kritik terhadap patriarki dan ketidakadilan adalah tema yang cukup kuat juga. Banyak karya memperlihatkan bahwa hukum dan norma sosial sering merugikan banyak perempuan, seperti dalam cerita klasik The Drover’s Wife karya Henry Lawson menceritakan tentang seorang ibu yang sedang menghadapi kerasnya alam pedalaman dan menunjukkan kekuatan serta keterbatasan peran perempuan.
Identitas perempuan Aborigin juga menjadi bagian penting dalam feminisme Australia. Berbeda dengan feminisme Barat, feminisme Aborigin ini selalu terikat dengan isu kolonialisme, bahasa, tanah, bahasa, dan budaya.
Karya-karya Tara June Winch, Oodgeroo Noonuccal, dan Melissa Lucashenko menguatkan bahwa perempuan Aborigin menghadapi perjuangan ganda seperti melawan patriarki sekaligus menolak penindasan kolonial.
Kebebasan tubuh dan seksualitas adalah tema lain yang juga menonjol, terutama sejak era 1970-an, ketika penulis seperti Helen Garner berani mengangkat isu cinta, seks, dan identitas perempuan urban.
Terakhir, ada pula tema tentang perjuangan lintas generasi yang sering muncul dalam cerita-cerita feminis. Hubungan antara ibu dan anak perempuan sering dijadikan simbol bahwa perjuangan perempuan tidak mati pada satu generasi, melainkan diteruskan dan diperjuangkan kembali oleh generasi berikutnya.
Keseluruhan tema ini menunjukkan bahwa feminisme dalam sastra Australia tidak hanya membicarakan kesetaraan gender, tetapi juga soal identitas, budaya, dan masa depan.
Pada masa ini, Feminisme dalam sastra Australia semakin luas dan global, Sydney Writer’s Festival dan Melbourne Writers Festival merupakan festival-festival yang memberikan ruang bagi penulis perempuan untuk berbicara tentang pengalaman mereka,
Banyak juga Platform Digital membantu penulis muda dan penulis dari komunitas minoritas untuk didengar.
Selain itu, karya sastra feminis Australia kini tidak hanya dibaca di dalam negeri, tetapi juga mendapat pembaca internasional. Novel seperti The Yield (Tara June Winch) dan Burial Rites (Hannah Kent) diterjemahkan ke berbagai bahasa dan diapresiasi di luar Australia.
Ini memperlihatkan bahwa isu-isu feminisme yang lahir dari konteks Australia sebenarnya juga relevan bagi pembaca di seluruh dunia.
Lebih jauh lagi, perkembangan feminisme dalam sastra Australia juga membuktikan bahwa sastra bukan hanya hiburan, melainkan media untuk memperjuangkan perubahan sosial.
Ketika penulis perempuan menghadirkan pengalaman nyata, konflik batin, hingga trauma yang dialami perempuan, mereka tidak hanya menceritakan kisah pribadi, tetapi juga menantang sistem yang menindas.
Dengan demikian, sastra feminis menjadi bagian dari sejarah intelektual sekaligus gerakan sosial di Australia.
Secara keseluruhan, feminisme dalam sastra Australia tidak hanya memperlihatkan perjuangan perempuan untuk kesetaraan gender, tetapi juga memperluas cara kita memahami identitas bangsa.
Dari Miles Franklin hingga Tara June Winch, dari Sybylla Melvyn hingga tokoh perempuan Aborigin di masa sekarang, mereka semua menunjukkan bahwa suara perempuan adalah bagian penting dari budaya dan sejarah Australia.
Dengan semakin beragamnya suara penulis perempuan, sastra Australia menjadi semakin hidup dan relevan. Suara feminis di dalamnya bukan hanya menyuarakan ketidakadilan, tetapi juga menawarkan harapan, inspirasi, dan identitas baru bagi generasi mendatang.(*)