Pasbana - Rencana penerapan aturan free float minimal 30% oleh OJK dan DPR menimbulkan kekhawatiran besar di pasar modal.
Dari sekitar 955 emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), baru 266 saham yang sudah memenuhi batas itu.
Artinya, ada sekitar 689 emiten yang terpaksa melepas sebagian kepemilikannya ke publik jika aturan ini benar-benar diberlakukan tanpa masa transisi.
Free float adalah porsi saham yang beredar di publik dan bisa diperdagangkan bebas. Tujuannya baik — meningkatkan likuiditas dan transparansi pasar.
Namun, dampaknya bisa fatal jika dilakukan serentak. Misalnya, perusahaan dengan valuasi Rp10 triliun dan free float 10% harus melepas tambahan Rp2 triliun saham ke publik untuk mencapai 30%.
Jika ratusan perusahaan melakukannya bersamaan, pasar bisa kebanjiran saham baru bernilai ratusan triliun rupiah, padahal transaksi harian BEI hanya sekitar Rp8–10 triliun.
Kondisi itu berpotensi menekan harga saham, mengguncang IHSG, dan merugikan investor ritel yang tidak mampu menyerap suplai besar.
Bagi pemegang saham pengendali, risiko kehilangan kendali juga tak bisa dihindari.
Pakar pasar modal menilai kebijakan ini perlu dilakukan bertahap agar tidak menciptakan kepanikan.
Pakar pasar modal menilai kebijakan ini perlu dilakukan bertahap agar tidak menciptakan kepanikan.
“Tujuan meningkatkan likuiditas memang baik, tapi pelaksanaannya harus realistis,” ujar analis dari salah satu sekuritas.
Investor disarankan memilih saham dengan free float tinggi, menjaga likuiditas kas, dan mencermati kebijakan OJK ke depan.
Aturan free float seharusnya menjadi jalan menuju pasar yang sehat — bukan tsunami yang menggulung semua pihak.
Terus tingkatkan literasi finansial Anda dan pahami risiko sebelum berinvestasi di pasar saham.(*)