Notification

×

Iklan

Iklan

Euforia Investor Baru di Bursa Saham 2025: Antara Kebangkitan Pasar dan Ujian Mindset Investasi

08 November 2025 | 20:28 WIB Last Updated 2025-11-08T13:28:14Z


Pasbana - Pasar saham Indonesia kembali bergairah. Tahun 2025 mencatat lonjakan signifikan jumlah investor ritel baru — bahkan melampaui euforia masa pandemi COVID-19 pada 2020. 

Bedanya, kali ini tidak ada “crash” besar seperti dulu, namun antusiasme masyarakat untuk membuka rekening efek dan bertransaksi di bursa melonjak drastis.

Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat, hingga kuartal III 2025, jumlah investor pasar modal menembus 14 juta single investor identification (SID), naik lebih dari 35% dibanding tahun sebelumnya

Peningkatan tajam ini bukan sekadar angka, tetapi mencerminkan perubahan besar dalam perilaku keuangan masyarakat, terutama generasi muda.

Apa penyebabnya? Ada beberapa faktor pendorong utama:

Kebangkitan saham-saham konglomerasi yang kembali mencatatkan kinerja impresif, memicu minat investor baru.

Fenomena “multibagger IPO” – saham-saham yang baru melantai langsung naik berkali lipat, menciptakan cerita sukses instan.

Pengaruh influencer saham di media sosial, yang berhasil menarik perhatian Gen Z dengan gaya penyampaian santai dan “fun”.

Daya beli yang melemah, membuat masyarakat mencari alternatif investasi yang dianggap lebih menjanjikan dibanding tabungan.

Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan “perfect storm” bagi ledakan investor ritel baru—dan sekaligus, memunculkan tantangan baru.

Antara Euforia dan Bahaya “Overconfidence”


Masuknya investor baru tentu kabar baik. Literasi keuangan meningkat, partisipasi publik di pasar modal tumbuh, dan ekonomi nasional mendapatkan sumber pembiayaan jangka panjang. 

Namun, seperti dua sisi mata uang, euforia yang tidak disertai edukasi bisa berbalik menjadi bumerang.

Banyak investor baru yang merasakan keuntungan cepat di tengah tren bullish market. IHSG yang stabil di atas 7.000 sejak awal tahun membuat sebagian merasa “berbakat alami” dalam trading. Tak sedikit yang mulai berpikir: “Ngapain kerja kantoran kalau bisa cuan besar dari saham?”

Di sinilah jebakan klasik pasar modal mulai bekerja — “overconfidence bias” atau rasa percaya diri berlebihan.

Menurut Bloomberg Intelligence, lebih dari 70% investor baru yang masuk pasar saat fase bullish cenderung kehilangan sebagian besar modalnya ketika tren berbalik arah.

 Fenomena ini juga terjadi di Indonesia pada 2021–2022, ketika saham-saham teknologi rontok dan ribuan investor ritel mundur dari pasar.

Serigala di Tengah Kawanan Domba


Kegairahan pasar juga mengundang “serigala berbulu domba”. Banyak figur publik yang memanfaatkan tren ini dengan menjual mimpi cepat kaya lewat saham “bagger”—saham yang bisa naik berkali lipat. 

Mereka menggiring opini, memberikan “kode saham”, bahkan mengadakan giveaway demi menarik pengikut.
Sayangnya, di balik konten yang menghibur, ada agenda terselubung: menciptakan euforia tanpa edukasi.

Investor pemula digiring untuk membeli tanpa analisis, hanya bermodal FOMO (fear of missing out).

Padahal, sejarah membuktikan: pasar saham bukan tempat untuk orang yang mudah terbawa arus.

Seperti dikatakan Warren Buffett, “The stock market is a device for transferring money from the impatient to the patient.”

Bull Market: Waktu Belajar Terbaik


Saat ini, investor baru berada dalam posisi yang beruntung. Mereka memulai perjalanan di tengah fase bullish, ketika sebagian besar saham cenderung naik. Tapi justru di sinilah ujian mental sebenarnya.

Dalam bull market, semua tampak mudah.
Namun, yang membedakan investor sejati dan “penumpang euforia” adalah bagaimana mereka bertahan saat badai datang — ketika pasar berubah menjadi bearish.

Seperti pepatah klasik di Wall Street:
“Everyone is a genius in a bull market.”
Investor sejati bukan yang cepat cuan, tetapi yang siap kehilangan, belajar, dan tetap bertahan.

Investasi Bukan Lomba Cepat Kaya


Investasi di saham sejatinya seperti membangun bisnis: butuh waktu, kesabaran, dan strategi manajemen risiko. Tujuannya bukan sekadar mencari “jackpot”, tetapi membangun compounding wealth — kekayaan yang tumbuh dari waktu ke waktu.

Perlu diingat:
Pasar saham akan selalu bersiklus. Setelah bullish, pasti ada bearish.

Cut loss dan wait-and-see bukan tanda takut, melainkan bentuk kedewasaan finansial.

Cash is also a position. Menyimpan uang di RDN (rekening dana nasabah) bukan berarti pasif, tapi bagian dari strategi menghadapi ketidakpastian.

Seperti diungkap Jos Parengkuan, pendiri Syailendra Capital, yang pernah melewati krisis 1998:
“Di masa krisis, hanya ada dua tipe orang: yang jatuh miskin mendadak, dan yang jadi kaya mendadak — karena persiapan.”

Tips Praktis untuk Investor Pemula


Agar tidak menjadi “korban euforia” pasar bullish, berikut beberapa langkah sederhana yang bisa diterapkan:

Fokus pada edukasi, bukan euforia.
Belajar membaca laporan keuangan, memahami sektor industri, dan mengerti fundamental saham.

Bangun komunitas positif.
Bergabunglah dengan kelompok diskusi yang sehat, bukan yang sekadar berbagi “kode saham”.

Gunakan strategi bertahap.
Mulailah dengan dollar cost averaging (investasi berkala) agar risiko lebih terukur.

Miliki jurnal investasi pribadi.
Catat alasan membeli dan menjual saham, agar setiap keputusan bisa dievaluasi.

Pahami profil risiko diri sendiri.
Tidak semua orang cocok menjadi trader harian. Ada yang lebih nyaman menjadi investor jangka panjang.

Bertumbuh, Bukan Sekadar Cuan


Pasar saham bukan tempat untuk mencari kekayaan instan, tapi ruang belajar tentang kesabaran, disiplin, dan pengelolaan risiko.

Bagi investor baru tahun 2025, ini adalah momentum emas untuk membangun pondasi mindset yang benar sebelum badai berikutnya datang. 

Gunakan masa bull market ini untuk memperkuat pemahaman, bukan hanya memperbesar portofolio.

Ingatlah, pemenang sejati di pasar modal bukan mereka yang paling berani, tapi mereka yang paling siap dan tahu apa yang mereka lakukan.
(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update