![]() |
| (Foto Dok: @west sumatra_ssc) |
Oleh: Salsa Hani Safira
(Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas)
Payakumbuh, pasbana – Perbaikan Jalan Payakumbuh–Lintau mulai menunjukkan hasil. Ruas yang selama bertahun-tahun dijuluki warga sebagai “jalan seribu lubang” ini telah tersentuh pekerjaan rigid beton sepanjang 1,3 kilometer pada pertengahan tahun 2025. Meski begitu, sebagian besar ruas masih berlubang dan bergelombang, terutama di kawasan Bukik Alang Lawuik.
Selama bertahun-tahun, kondisi jalan tersebut berdampak pada distribusi barang, mobilitas pelajar, hingga pendapatan petani dan pedagang. Pada musim kemarau, debu tebal kerap menutupi pandangan hingga memicu julukan “wisata kabut”.
Beberapa pekan terakhir, perubahan mulai terlihat. Beton rigid telah dipasang pada segmen awal dan drainase diperbarui. Meski demikian, warga mempertanyakan ketahanan perbaikan ini karena jalur tersebut berada di kawasan tanah labil dan rawan erosi.
Tekanan Publik Dorong Perbaikan Jalan
Dalam dua tahun terakhir, keluhan warga meningkat melalui media sosial seperti Facebook dan TikTok. Unggahan tentang ban pecah, keterlambatan distribusi barang, hingga rekaman jalan rusak menjadi viral dan memunculkan tekanan publik kepada pemerintah.
Fenomena ini mencerminkan praktik responsive governance sebagaimana dijelaskan Richard Heeks (2001), yang menekankan bahwa kualitas pembangunan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pemerintah merespons kebutuhan masyarakat serta suara publik dalam mengarahkan kebijakan.
Dampak Ekonomi Mulai Dirasakan Warga
Jalan yang lebih baik mulai berdampak pada ekonomi masyarakat. Pedagang sayur di Pasar Lintau menyebut waktu tempuh menjadi lebih cepat dan risiko kerusakan barang berkurang. Dampak ini memperkuat konsep pembangunan inklusif seperti dijelaskan Ranis, Stewart, dan Samman (2005), bahwa pembangunan dianggap berhasil bila manfaat ekonominya terasa hingga level rumah tangga.
Perbaikan ruas ini turut membantu mengurangi ketimpangan akses antara Payakumbuh dan Tanah Datar, terutama bagi petani, pelajar, dan pelaku usaha kecil.
Investasi Besar, Publik Tuntut Kualitas
Data yang dihimpun menunjukkan anggaran yang terlibat dalam perbaikan ruas ini antara lain:
- 1,3 km rigid beton (2025): Rp12,3 miliar
- Usulan Inpres Jalan Daerah: Rp75 miliar
- Alokasi PUPR untuk jalan strategis Sumbar (2025): Rp600 miliar
- Anggaran jalan Tanah Datar (2024): Rp137 miliar
Dengan investasi sebesar itu, warga menuntut kualitas pekerjaan, termasuk beton yang tahan lama, drainase yang baik, dan pengawasan anggaran yang transparan.
Keberlanjutan Jadi Tantangan Utama
Secara geografis, jalur Payakumbuh–Lintau berada di wilayah rawan longsor dan memiliki curah hujan tinggi. Karena itu, keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari kondisi jalan hari ini, tetapi ketahanannya dalam jangka panjang.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang diperkenalkan oleh Brundtland Commission (1987) menekankan tiga pilar utama: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Jika salah satu pilar diabaikan, terutama aspek lingkungan seperti drainase dan mitigasi longsor, siklus kerusakan berpotensi kembali berulang.
Warga berharap perbaikan dapat dilanjutkan menyeluruh agar manfaatnya merata dan bertahan lama.(*)




