Padang Panjang, pasbana —
Menulis puisi bukan sekadar menunggu datangnya inspirasi, tetapi tentang merebut gagasan dari realitas yang hidup di sekitar. Demikian pesan kuat yang disampaikan Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn., sastrawan nasional sekaligus dosen teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dalam diskusi rutin Komunitas Seni Kuflet yang digelar di sekretariat mereka, Jumat (8/11).
Menulis puisi bukan sekadar menunggu datangnya inspirasi, tetapi tentang merebut gagasan dari realitas yang hidup di sekitar. Demikian pesan kuat yang disampaikan Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn., sastrawan nasional sekaligus dosen teater Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dalam diskusi rutin Komunitas Seni Kuflet yang digelar di sekretariat mereka, Jumat (8/11).
Diskusi yang bertajuk “Proses Kreatif Cipta dan Baca Puisi” itu dihadiri puluhan pegiat sastra muda dan seniman lokal. Ketua Harian Kuflet, Noval, mengatakan kegiatan ini merupakan bagian dari upaya komunitas untuk memperkuat ekosistem literasi dan apresiasi seni di Padang Panjang.
“Kami rutin menghadirkan sastrawan dan seniman nasional agar anggota bisa belajar langsung dari para pelaku seni berpengalaman,” ujar Noval.
Dalam pemaparannya, Sulaiman Juned menjelaskan bahwa puisi modern berbeda dari puisi lama. Jika puisi lama terikat oleh rima dan pola persajakan, maka puisi modern menawarkan kebebasan dalam bentuk dan ekspresi.
“Kekuatan puisi modern terletak pada diksinya — pada makna yang disembunyikan di balik pilihan kata. Ia bebas, namun tetap bermakna,” papar Sulaiman yang juga dikenal sebagai sutradara teater produktif.
Menurutnya, seorang penyair sejati harus liar dan cerdas dalam menangkap gejala sosial di sekitarnya. Imajinasi dan empati sosial menjadi kunci dalam mengolah pengalaman menjadi karya sastra yang bernilai.
“Penyair itu harus mampu membaca kehidupan. Gagasan tidak datang sendiri — ia harus direbut dari pengalaman, dari lingkungan, dari denyut masyarakat,” tegasnya.
Sulaiman juga menguraikan tahapan yang harus dilalui seorang penyair dalam mencipta karya. Proses itu meliputi pencarian ide, pemilihan tema, penentuan jenis dan aliran puisi, hingga penyusunan diksi yang kuat dan puitikal.
Ia menambahkan, pemanfaatan gaya bahasa, tipografi, hingga unsur psikologis dan sosiologis perlu diperhatikan agar pesan puisi tersampaikan secara utuh.
“Judul juga sangat menentukan. Ia harus menarik, menggoda pembaca sejak pandangan pertama,” ujarnya.
Diskusi menjadi semakin hidup ketika beberapa peserta mengajukan pertanyaan. Salah satunya, Jumaida, bertanya tentang cara membaca puisi dengan baik.
Menjawab hal itu, Sulaiman menegaskan bahwa membaca puisi tidak sekadar melafalkan kata-kata, tetapi membutuhkan analisis mendalam terhadap makna dan pesan karya tersebut.
“Pahami dulu tema, pesan, dan sudut pandang penyair. Kemudian kuasai teknik vokal — intonasi, tempo, artikulasi, hingga jeda dan ruang. Pembacaan puisi adalah seni ekspresi, bukan hafalan,” jelasnya.
Peserta lain, Varuk, menanyakan apakah puisi modern harus memiliki rima. Sulaiman menjawab, rima bukan keharusan dalam puisi modern.
“Ada yang memakai rima, ada pula yang tidak. Yang penting, ritme dan maknanya tetap hidup,” katanya.
Sementara itu, Windy bertanya mengenai cara menentukan intonasi per bait saat membaca puisi. Sulaiman menekankan pentingnya analisis struktur puisi sebagai dasar penentuan intonasi dan irama.
“Ketika makna telah dipahami, intonasi dan tempo akan mengalir dengan sendirinya,” paparnya menutup sesi diskusi.
Kegiatan rutin seperti ini, menurut Noval, menjadi ruang penting bagi seniman muda di Padangpanjang untuk mengasah kemampuan kreatif dan memperluas wawasan sastra.
Ia berharap diskusi semacam ini terus berlanjut dan melibatkan lebih banyak generasi muda.
Diskusi diakhiri dengan pembacaan beberapa puisi karya anggota Kuflet, yang disambut tepuk tangan hangat.
Diskusi diakhiri dengan pembacaan beberapa puisi karya anggota Kuflet, yang disambut tepuk tangan hangat.
Melalui kegiatan ini, komunitas berharap semangat menulis dan membaca puisi tidak hanya menjadi kegiatan seni, tetapi juga gerakan kebudayaan yang memperkuat jati diri masyarakat Padangpanjang sebagai kota literasi dan seni.(*/Petir)






