Notification

×

Iklan

Iklan

Indonesia Tak Lagi Kebal dari Badai Siklon: Ada Apa dengan Iklim Kita?

19 Desember 2025 | 07:40 WIB Last Updated 2025-12-19T00:40:51Z


Pasbana- Selama puluhan tahun, Indonesia dikenal sebagai “zona aman” dari badai siklon tropis. Letaknya yang tepat di garis khatulistiwa membuat negeri ini seolah memiliki perisai alami. 

Putaran angin siklon—yang membutuhkan efek Coriolis—biasanya tak bisa terbentuk sempurna di wilayah ekuator.
Namun, belakangan anggapan itu mulai runtuh.

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia makin sering merasakan dampak badai siklon: hujan ekstrem berhari-hari, angin kencang, gelombang laut tinggi, hingga banjir dan longsor di berbagai daerah. Meski pusat siklonnya tidak tepat berada di Indonesia, efek ekornya kini terasa semakin kuat dan merusak.

Apa yang Berubah? Jawabannya Ada di Laut


Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), salah satu kunci perubahan ini terletak pada suhu permukaan laut. Laut yang semakin hangat menjadi “bahan bakar” utama bagi badai tropis.

Data BMKG menunjukkan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia dan sekitarnya kini sering berada di atas 28–30 derajat Celsius, ambang ideal untuk memperkuat sistem badai. 

Kondisi ini membuat siklon yang terbentuk di Samudra Hindia atau Pasifik Selatan lebih intens dan lebih lama bertahan, sehingga dampaknya menjalar hingga ke wilayah Indonesia.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) juga menegaskan hal serupa: perubahan iklim meningkatkan intensitas badai tropis, meski frekuensinya belum tentu bertambah. Artinya, badai yang ada kini cenderung lebih kuat, lebih basah, dan lebih merusak.

Deforestasi dan Laut yang Kehilangan Penjaganya


Pemanasan laut tidak berdiri sendiri. Deforestasi besar-besaran, alih fungsi hutan, serta rusaknya ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang memperparah situasi.

Hutan berfungsi sebagai penyeimbang iklim alami. Ketika hutan hilang, karbon dioksida di atmosfer meningkat, suhu global naik, dan laut menyerap panas berlebih. Sementara itu, rusaknya mangrove membuat wilayah pesisir kehilangan benteng alami dari gelombang tinggi dan angin badai.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam menjaga tutupan hutan dan ekosistem pesisir—dua komponen penting dalam mitigasi perubahan iklim.

Indonesia Tidak Diserang Siklon, Tapi Tetap Terpukul


Penting dicatat: Indonesia bukan wilayah pembentukan siklon tropis. Namun, kita kini semakin sering menjadi korban tidak langsung—mulai dari hujan ekstrem, banjir bandang, gangguan pelayaran, hingga gagal panen.

Siklon Seroja pada 2021 menjadi contoh paling nyata. Meski pusat badai berada di selatan Indonesia, dampaknya di Nusa Tenggara Timur begitu dahsyat dan menelan banyak korban jiwa. Peristiwa ini menjadi alarm keras bahwa “kekebalan geografis” tak lagi cukup.

Saatnya Berdamai Kembali dengan Alam


Fenomena ini membawa pesan sederhana namun mendesak: alam hanya akan melindungi kita jika kita menjaganya.
Menanam kembali hutan, melindungi mangrove, menjaga laut dari pencemaran, serta menekan emisi karbon bukan sekadar slogan lingkungan. Itu adalah langkah nyata untuk mengurangi risiko bencana di masa depan.

BMKG, IPCC, hingga para ahli iklim sepakat: tanpa upaya serius menjaga ekosistem, cuaca ekstrem akan menjadi “normal baru” bagi Indonesia.

Dan pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi mengapa Indonesia tak kebal dari badai siklon, melainkan seberapa siap kita hidup berdampingan dengan perubahan iklim—dan seberapa serius kita ingin mencegahnya makin parah.(*) 

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update