Padang Panjang, pasbana— Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang bersama Universitas Negeri Jambi (UNJA) menggelar Muhibah Pertunjukan Seni Kolaboratif dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-60 ISI Padangpanjang (Lustrum XII). Acara ini berlangsung pada Rabu malam, 18 Desember 2025, di Gedung Pertunjukan Hoeridjah Adam, mulai pukul 20.00 WIB hingga 23.00 WIB, dan menjadi ruang temu kreatif dua institusi seni dalam merayakan kekayaan budaya Melayu melalui bahasa seni pertunjukan.
Kegiatan tersebut menghadirkan beragam karya kolaboratif lintas disiplin, mulai dari pertunjukan Musik Kalinong, monolog “Dendam Raja Hindustan”, tari “Retak Tak Pecah”, orkestra kolaboratif “Elegi Maniti Ameh”—pengembangan dari dendang saluang Minangkabau—hingga pertunjukan tari “Lara”. Seluruh karya disajikan sebagai hasil dialog artistik dan riset kebudayaan yang melibatkan dosen, mahasiswa, serta seniman dari kedua perguruan tinggi.
Koordinator Acara Dies Natalis ke-60 ISI Padangpanjang, Dr. Adriyandi, M.Sn., menjelaskan bahwa pertunjukan ini dirancang sebagai wadah berbagi proses kreatif dan perspektif estetik.
“Kolaborasi ini tidak hanya menampilkan karya, tetapi juga mempertemukan cara pandang dan nilai-nilai budaya Melayu yang beragam, sehingga tercipta pemaknaan baru yang dapat dinikmati publik,” ujarnya.
Guru Besar Seni Pertunjukan ISI Padangpanjang, Prof. Dr. Asril Muchtar, S.Skar., M.Sn., menyoroti kompleksitas kerja kolaboratif lintas bidang yang tampak kuat pada pertunjukan penutup.
Menurutnya, karya tersebut menarik karena menyatukan musik dan tari yang digarap oleh dua koreografer dan dua komposer dengan satu objek kajian folklore dari Tanjung Pandan.
“Ada ambiguitas yang justru memikat. Karya tari berangkat dari folklore lokal, tetapi diiringi musik Barat. Ia seolah berada di antara dua dunia estetik,” kata Prof. Asril.
“Ada ambiguitas yang justru memikat. Karya tari berangkat dari folklore lokal, tetapi diiringi musik Barat. Ia seolah berada di antara dua dunia estetik,” kata Prof. Asril.
Salah satu penari dalam karya “Retak Tak Pecah”, Muhammad Riyaldi E. Saputra, mengungkapkan bahwa tari tersebut bersumber dari cerita rakyat Kabupaten Bungo, Jambi, berjudul Pedang Patah Tigo. Kisahnya menuturkan relasi tiga bersaudara yang terpisah lama, saling berselisih memperebutkan wilayah, hingga akhirnya disadarkan oleh kehadiran saudara perempuan tentang ikatan darah.
“Secara filosofis, karya ini memuat pesan tentang pulang ke asal dan persaudaraan sebagai pedoman hidup,” paparnya.
Sementara itu, penari karya “Lara”, Putri Ramadhani, mengatakan bahwa persiapan pertunjukan dilakukan sekitar tiga bulan di bawah arahan dosen pembimbing. Tujuh penari terlibat, termasuk penari laki-laki, dengan kolaborasi intens bersama ISI Padangpanjang, khususnya pada musik pengiring orkestra.
“Banyak pelajaran yang kami dapatkan. Kami bangga bisa tampil dalam kolaborasi ini di ISI Padangpanjang,” ujarnya.
Dari pihak UNJA, Guru Besar Seni Pertunjukan Prof. Dr. Mahdi Bahar, S.Kar., M.Hum., menegaskan pentingnya kegiatan kolaboratif sebagai bagian dari kerja akademisi seni.
“Kegiatan seperti ini perlu sering dilakukan agar publik memahami bagaimana sumbangan ilmu pengetahuan melalui seni bagi negeri ini,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa karya tari “Lara” berpijak pada sastra lisan Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi, yang mengisahkan kesedihan Putri Dayang Ayu akibat perjodohan yang diingkari Dang Bujak. Kisah tersebut ditafsirkan ulang ke dalam konteks kehidupan perempuan masa kini yang kerap mengalami keterpurukan karena ditinggalkan orang terkasih, dengan penekanan pada proses bangkit dan keikhlasan demi kebahagiaan.
Karya “Lara” dikoreografikan oleh Mufiq Azizah, S.Sn., M.Sn. dan Tiara Fatma Sari, S.Sn., dengan komposer Ratna Sari, S.Sn. dan Vera Fitriani, S.Sn.. Pembimbing tari adalah Dra. Hartanti, S.Kar., M.Hum. dan Riswani, S.Sn., M.Sn., sementara pembimbing musik dilakukan oleh Prof. Dr. Mahdi Bahar bersama Indra Gunawan, S.Sn., M.Sn..
Selain itu, monolog “Dendam Raja Hindustan” merupakan hasil monologisasi dari teater tradisional Abdul Muluk asal Kabupaten Muaro Jambi, yang menonjolkan kekuatan tutur dan dramatika klasik dalam format yang lebih intim.
Apresiasi juga datang dari penonton. Hamdanu, salah seorang penonton yang hadir, menilai pertukaran seni ini memperkaya sudut pandang masyarakat.
“Meski sama-sama berakar dari budaya Melayu, terlihat perbedaan dan persamaan yang menarik. Gerakannya terasa berbeda dari yang biasa kami lihat di Sumatera Barat. Ini menunjukkan bahwa Melayu sebagai wilayah kebudayaan sangat luas,” ujarnya.
Menutup rangkaian acara, Dr. Adriyandi menambahkan bahwa tantangan utama dalam persiapan kegiatan bukan terletak pada aspek teknis, melainkan pada penyelarasan kerja sama dua institusi agar nilai karya dapat diterima publik secara utuh.
“Dibutuhkan komunikasi intens dan persiapan matang agar konten sampai ke penonton dengan nilai yang beragam. Persiapan berlangsung berbulan-bulan, bahkan sempat mengalami penyesuaian akibat faktor bencana sebagai bentuk empati,” katanya.
Melalui Muhibah Pertunjukan Seni Kolaboratif ini, ISI Padangpanjang dan UNJA menegaskan peran strategis perguruan tinggi seni dalam merawat, mengembangkan, dan mendialogkan kekayaan budaya lokal ke dalam praktik seni yang relevan dengan konteks kekinian. (Kay/Khana/Awa)








