Notification

×

Iklan

Iklan

IHSG 9.000 Tinggal Mimpi di Akhir Tahun? Ini 3 Alasannya

24 Desember 2025 | 14:45 WIB Last Updated 2025-12-24T07:45:44Z


Pasbana - Menjelang penutupan tahun, target Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level psikologis 9.000 kembali ramai diperbincangkan. 

Angka bulat ini memang menggoda. Ibarat pelari yang tinggal beberapa meter menuju garis finis, harapannya besar—tapi tenaga sering kali sudah terkuras.

Mari kita lihat situasi pasar secara jujur, rasional, dan berbasis data, bukan sekadar optimisme. Bukan soal tidak percaya pada pasar saham Indonesia, tetapi tentang memahami konteks global dan domestik agar keputusan investasi tetap masuk akal.

Berikut tiga alasan utama mengapa IHSG akan sangat sulit menembus 9.000 hanya dalam empat hari perdagangan terakhir tahun ini.

1. Sinyal Retak dari Ekonomi Amerika Serikat: Pasar Global Masuk Mode “Jaga Aman”


Kita mulai dari pusat gravitasi pasar keuangan dunia: Amerika Serikat.
Data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan lapangan kerja AS masih bertambah pada November. 

Namun, ada catatan penting: tingkat pengangguran naik ke 4,6%. Ini memberi sinyal bahwa pasar tenaga kerja mulai melambat.

Masalahnya, perlambatan ini terjadi di tengah ketidakpastian arah kebijakan perdagangan AS. Kombinasi ini memunculkan satu pertanyaan besar di pasar global: apakah ekonomi AS masih solid, atau mulai retak dari dalam?

Saat keraguan muncul, pasar biasanya melakukan satu hal sederhana: mengurangi risiko.

Banyak investor lalu bertanya, “Bukankah The Fed baru saja menurunkan suku bunga? Harusnya positif, dong?”

Jawabannya: tergantung alasannya.

Jika suku bunga turun karena ekonomi kuat → pasar cenderung bullish
Jika suku bunga turun karena takut ekonomi melemah → pasar justru risk-off

Kondisi saat ini lebih dekat ke skenario kedua. Karena itu, meski suku bunga lebih rendah, dana asing belum agresif masuk ke emerging market seperti Indonesia. Mereka masih wait and see.

Dalam situasi seperti ini, pasar tidak sedang mencari keuntungan maksimal, tapi keamanan modal.

2. Jepang Mengetat, Likuiditas Global Menyusut


Tekanan berikutnya datang dari Asia Timur.
Bank of Japan baru saja menaikkan suku bunga 25 basis poin ke level 0,75%. Ini keputusan besar. Selama bertahun-tahun, Jepang dikenal sebagai sumber likuiditas murah dunia.

Ketika Jepang mulai mengetat, efek berantainya terasa luas:
  • Likuiditas global berkurang
  • Yen menguat
  • Potensi arus dana keluar dari emerging market meningkat

Bagi pasar saham global, termasuk Indonesia, ini jelas bukan kabar baik. Dana global cenderung pulang ke negara asal atau masuk ke aset yang dianggap lebih aman.

Analogi sederhananya begini:
Jika selama ini pasar global seperti pesta dengan minuman gratis, keputusan Bank of Japan ibarat keran minuman mulai ditutup. Pesta masih jalan, tapi suasananya tak lagi sehidup sebelumnya.

3. Dari Dalam Negeri: Stabil, Tapi Bukan Pendorong Reli


Bagaimana dengan Indonesia?
Bank Indonesia memutuskan menahan suku bunga di level 4,75%. Fokus utamanya jelas: menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan global.

Dari sisi kebijakan makro, langkah ini sangat prudent. Namun, dari sudut pandang pasar saham, implikasinya perlu dipahami secara jujur:

-Tidak ada stimulus likuiditas baru → tidak ada “amunisi tambahan” untuk mendorong saham naik agresif

-BI dalam mode bertahan → prioritas menjaga fondasi ekonomi, bukan mengejar pertumbuhan pasar jangka pendek
Artinya, kebijakan ini efektif menahan IHSG agar tidak jatuh, tetapi belum cukup kuat untuk mendorong lonjakan tajam dalam waktu singkat.

Sentimen Positif Ada, Tapi Belum Jadi Bahan Bakar


Kabar baiknya, ada sentimen penopang dari sisi diplomasi dagang.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa substansi Framework Agreement AS–Indonesia telah disepakati. Amerika Serikat akan memberikan pengecualian tarif untuk sejumlah produk ekspor Indonesia seperti sawit, kopi, dan teh.

Rencananya, perjanjian ini akan diteken pada Januari 2026 oleh Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump.
Ini sentimen positif karena:
- Mengurangi ketidakpastian
- Menjadi fondasi hubungan dagang jangka menengah

Namun perlu dicatat: dampaknya belum instan. Implementasi belum berjalan, arus dana masuk belum terlihat, dan efek ekonominya belum langsung terasa di pasar saham.

Dijaga Tetap Berdiri, Sulit Melompat Tinggi


Jika dirangkum secara sederhana:
  • Ekonomi AS melemah → pasar global cenderung risk-off
  • Jepang mengetat → likuiditas global menyusut
  • BI defensif → fokus stabilitas, bukan agresivitas
  • Trade deal AS–Indonesia → positif, tapi efeknya jangka menengah

Dengan kombinasi ini, IHSG berada dalam kondisi stabil tapi terbatas. Untuk mencapai level 9.000, dibutuhkan kenaikan sekitar 5% hanya dalam empat hari perdagangan—sebuah lompatan besar di tengah likuiditas yang justru mengetat.

Maka, jika target IHSG 9.000 terasa sulit tercapai di akhir tahun ini, itu bukan soal pesimisme. Itu soal membaca data dan realitas pasar apa adanya.

Catatan untuk Investor


Pasar saham bukan soal menebak angka tertinggi, tapi soal memahami risiko dan peluang secara proporsional. Di fase seperti ini, disiplin, selektif, dan manajemen risiko justru lebih penting daripada mengejar euforia.

Teruslah membaca, belajar, dan meningkatkan literasi finansial. Jangan lewatkan artikel-artikel berikutnya yang akan membahas strategi investasi rasional di tengah pasar global yang bergejolak.(*)

IKLAN

×
Kaba Nan Baru Update