Pasbana - Di banyak kota besar Indonesia—bahkan hingga mancanegara—satu hal kerap terasa akrab: rumah makan Padang. Dari gang sempit sampai pusat bisnis, dari Jakarta hingga Amsterdam, aroma rendang seolah menjadi penanda kehadiran orang Minangkabau.
Tapi di balik sukses kuliner itu, tersimpan kisah panjang tentang etos wirausaha yang tak lahir dalam semalam.
Bagi masyarakat Minangkabau, berdagang bukan sekadar mencari untung. Ia adalah jalan hidup—hasil pertemuan antara agama, adat, dan budaya kerja keras yang diwariskan lintas generasi.
Agama sebagai Akar, Adat sebagai Penyangga
Etos wirausaha Minangkabau berakar kuat pada falsafah hidup “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”—adat bersendikan agama, agama bersumber pada Al-Qur’an. Prinsip ini menempatkan Islam bukan hanya sebagai keyakinan spiritual, tetapi juga pedoman etika ekonomi.
Nilai seperti sabar, tawakal, jujur, dan amanah menjadi fondasi dalam berusaha. Rezeki diyakini datang dari Tuhan, namun harus dijemput dengan ikhtiar sungguh-sungguh. Kesuksesan pun tidak untuk disombongkan, melainkan dijadikan sarana berbagi.
Sejumlah penelitian sosiologi ekonomi bahkan menyebut etos ini sejalan dengan teori etika kerja religius yang pernah dikemukakan oleh Max Weber—bahwa keyakinan agama dapat membentuk perilaku ekonomi yang disiplin dan produktif.
Merantau: Sekolah Kehidupan Orang Minang
Jika agama adalah akar, maka merantau adalah kawah candradimuka. Bagi laki-laki Minangkabau, meninggalkan kampung halaman bukan sekadar tradisi, melainkan proses pendewasaan ekonomi dan mental.
Pepatah “Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjung” mengajarkan kemampuan adaptasi. Di tanah orang, mereka belajar membaca peluang, memahami selera pasar, dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.
Tak heran, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau termasuk salah satu etnis dengan tingkat mobilitas ekonomi dan kewirausahaan yang tinggi, terutama di sektor perdagangan dan jasa makanan.
Hidup Harus Berencana, Usaha Harus Terukur
Orang Minang mengenal prinsip “Hiduik baraka, baukue jo bajangko”—hidup harus punya rencana, usaha harus terukur. Filosofi ini tercermin dalam kebiasaan hemat, fokus, dan disiplin finansial.
Keuntungan tidak langsung dihabiskan. Modal diputar kembali. Risiko dihitung matang. Kepuasan ditunda demi keberlanjutan usaha. Pola ini membuat banyak pedagang Minang mampu bertahan dari krisis, termasuk saat pandemi.
Pepatah lain menegaskan:
“Kok nak kayo kuek mancari, kok nak pandai kuek baraja.”
Ingin kaya, harus kuat bekerja. Ingin pandai, harus kuat belajar.
Gagal Bukan Akhir, Tapi Guru
Dalam budaya Minangkabau, kegagalan tidak dipandang sebagai aib. Justru sebaliknya—ia adalah guru kehidupan. Banyak pengusaha Minang memulai dari usaha kecil, jatuh bangun berkali-kali, sebelum akhirnya menemukan bentuk bisnis yang matang.
Kepercayaan diri dan keberanian mengambil risiko menjadi modal penting. Selama masih jujur dan bekerja keras, kegagalan hanyalah jeda, bukan titik akhir.
Dari Lapau ke Jaringan Global
Salah satu simbol keberhasilan etos ini adalah menjamurnya rumah makan Padang, dari usaha keluarga hingga jaringan besar seperti RM Sederhana. Konsistensi rasa, kejujuran timbangan, dan pelayanan yang adaptif membuatnya diterima lintas budaya.
Kini, generasi muda Minang melangkah lebih jauh. Mereka merambah startup kuliner, ekspor makanan siap saji, hingga bisnis digital, tanpa meninggalkan nilai lama: integritas, kerja keras, dan belajar tanpa henti.
Warisan Nilai yang Tetap Relevan
Di tengah dunia yang serba cepat, etos wirausaha Minangkabau menunjukkan bahwa nilai tradisional tidak pernah usang. Justru ia menjadi jangkar di tengah perubahan.
Agama memberi arah. Adat memberi batas. Budaya kerja keras memberi daya tahan.
Dari surau ke rantau, dari lapau ke pasar global, orang Minang membuktikan satu hal: usaha yang dijalani dengan nilai akan selalu menemukan jalannya. Makin tahu Indonesia.
(*)




