Notification

×

Iklan

Iklan

Stunting , Problem Kesehatan Yang Masih Mengancam Di Sumbar

22 November 2018 | 08.00 WIB Last Updated 2018-11-22T01:00:12Z
Bahaya Stunting mengancam generasi penerus bangsa ( foto : Dok. Idntimes )





PADANG–Sumbar tak lepas dari ancaman stuntingatau kekurangan gizi kronis yang menyebabkan anak-anak mengalami gangguan pertumbuhan tinggi badan (kerdil). Persoalan ini tak boleh dipandang sebelah mata, karena akan mempengaruhi indeks modal manusia (IMM) secara keseluruhan. DPRD Sumbar mendesak agar persoalan ini mendapat perhatian khusus.

Data 2017, ada sekitar 36 persen anak Sumbar yang prevalensi stunting. Angka itu di atas prevalensi stunting nasional sebesar 29,6 persen. Selain di atas angka nasional, jumlah itu juga di atas toleransi  maksimal angka stunting yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah anak.

Kondisi terparah terjadi di Pasaman dan Pasaman Barat.  Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) yang dilakukan setiap lima tahun, terdapat 15.025 balita berisiko stunting di Pasaman dan 23.435 balita di Pasaman Barat. 

Sementara menurut survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Sumbar tahun 2017 seperti yang dilansir Republika, 24 Januari 2018, terdapat 21,5 persen balita di Pasaman yang berisiko tumbuh dengan tubuh pendek. Sementara di Pasaman Barat, angkanya 19,1 persen. Sementara di Padang, ada sekitar 22,6 persen yang menderita stunting pada tahun 2017.

DPRD Sumbar mendesak agar persoalan ini mendapat perhatian khusus. Jika dibiarkan, bisa kian menjalar dan akut. Sebagai masalah dasar kehidupan pemerintah, khususnya Sumbar, menurut DPRD perlu bergerak cepat untuk memutus mata rantai stunting, yang akan berdampak pada banyak sektor di masa depan. 

Stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar kerja. Selain itu, stunting bisa memperburuk kesenjangan hingga mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup dan menimbulkan kemiskinan antar-generasi.

World Health Organization (WHO) mencatat 7,8 juta dari 23 juta balita Indonesia menderita stunting (sekitar 35,6%). Sebanyak 18,5% balita masuk kategori sangat pendek dan 17,1% masuk kategori pendek. WHO pun menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk. Dilansir dari kompas.com, Indonesia duduk di peringkat ke-87 dari 157 negara dalam hal IDM yang amat dipengaruhi oleh masalah stunting.

Anggota DPRD Sumbar asal daerah pemilihan (Dapil) Padang Pariaman-Kota Pariaman, Endarmy, berharap dinas kesehatan (Dinkes) provinsi dan kabupaten/kota bergerak cepat menelusuri dan memberi penanganan terhadap balita terduga stunting

Selain 806 balita di Kota Pariaman sebagaimana pemberitaan Haluan pekan lalu, stunting diduga juga menjadi masalah di empat kabupaten/kota lain, yaitu Pasaman, Solok Selatan, Pasaman Barat, dan Kota Solok.

“Anggaran bidang kesehatan yang dialokasikan setiap tahun sudah di atas 10 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dengan kata lain sudah melebihi dari yang diamanahkan undang-undang. Oleh karena itu untuk kasus stunting,janganlah sampai jadi momok di tengah masyarakat,” kata Endarmy seperti yang dilansir Haluan, Senin (19/11).

Endarmy menyebutkan, berdasarkan penimbangan balita pada September 2018 di Kota Pariaman, diperoleh dugaan bahwa sebanyak 806 mengalamistunting. Kondisi itu menurutnya butuh penanganan cepat dan tepat karena akan berdampak pada terganggunya perkembangan kecerdasan dan kerentanan anak terhadap penyakit.

“Dinas kesehatan harus turun melihat kondisi di tengah masyarakat. Jika terbukti memang stunting, tangani segera, jika dibiarkan akan berdampak pada masa depan anak," kata Endarmy.

Hal senada disampaikan Ketua Komisi V DPRD Sumbar, Hidayat. Ia menuturkan, Komisi V yang salah satu tupoksinya membidangi persoalan kesehatan mendukung penanganan cepat dan tepat terhadap masalah stunting, sebab dari laporan yang masuk ke komisi V, laporan stunting tidak hanya terjadi di Kota Pariaman, tetapi juga di empat kabupaten/kota lain seperti, Pasaman, Solok Selatan, Pasaman Barat, dan Kota Solok.

"Dalam konteks pembangunan kesehatan ini memang harus menjadi perhatian yang serius. Harus jadi gerakan bersama dalam penanganannya. Kalau tidak generasi kita akan jadi generasi yang kalah di masa depan, karena perkembangan otak dan fisik yang tidak sempurna," kata Hidayat.

Menurut Hidayat, penanganan stunting harus jadi gerakan bersama karena pemicu masalah kesehatan disebabkan banyak faktor, mulai dari asupan gizi anak yang juga berhubungan dengan persoalan pangan, sanitasi, serta pengetahuan masyarakat itu sendiri yang masih minim tentang pentingnya hidup sehat.

Oleh karena itu, katanya lagi, komisi V juga mendorong Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) sebagai salah satu upaya mengatasi stunting agar terselesaikan secara optimal. ( Ril / bd )
×
Kaba Nan Baru Update