Notification

×

Iklan

Iklan

Resonansi Akhir Pekan: Antara Doa dan Sumpah Serapah

06 April 2019 | 16.41 WIB Last Updated 2023-01-23T12:59:04Z

Ditulis oleh: Hardisman, PhD

Dosen Universitas Andalas (Unand) Padang & Analis Kebijakan Kesehatan dan Pengamat Sosial Kemasyaratan


pasbana -“Jangan Ganti Doa Terhadapmu Dengan Sumpah Serapah Akhir pekan, terutama di hari Minggu adalah hari yang mana banyak masyarakat mengadakan pesta pernikahan, Walimah untuk anaknya. 

Hari itu adalah hari bahagia kedua mempelai, orang tua kedua belah pihak dan seluruh keluarga besarnya. Rasa bahagia itu juga disampaikan pada para kerabat, sahabat, dan sanak saudara jauh lainnya. 

Hingga mereka diharapkan datang memberikan ucapan selamat dan doa untuk ke dua mempelai. Sanak-saudara dan sahabat yang datang dari jauh, mebawa bingkisan, datang dengan senyuman. 

Lalu mereka bersalaman dan diiringi doa untuk kedua insan yang sedang berbahagia itu. Sungguh mulia, mereka didoakan agar bahgaia jiwa raga, penuh kedamaian, cinta, dan kasih sayang Sakinah, mawaddah, wa-rahmah. Itulah sebenarnya yang diharapkan oleh kedua mempelai dan keluarga. 

Sahabat yang datang denga rasa bahagia dan senyuman dan teriring dengan doa yang tulus. Namun sayang, dalam pelaksanaannya, kadang kala orang tua atau keduanya lupa untuk melakukannya dengan penuh Rahmah dan ramah peda lingkungan, tetangga dan masyarakat banyak. 

Sehingga jadilah Doa yang sudah banyak itu, telah diiringi pula dengan sumpah serapah.Dari Memblokir jalan Hingga Musik Tengah Malam.”

Sudah lazim kita temukan di daerah kita ini, diantara masyarakat ada yang melakukan pernikahan tersebut menggunakan jalan umum sehingga jalan menjadi sangat sempit, dan membuat kemacetan yang sangat panjang. 

Akhirnya, pesta itu  justru mengganggu perjalanan masyarakat yang lebih banyak. Tidak jarang pula, penyelenggara pesta tidak mau tahu degan kemacetan yang terjadi di jalan raya, akibat dari apa yang telah dibuatnya. 

Bahkan, diantaranya ada pula yang melakukan pemblokiran total di jalan komplek.  Mereka yang berpesta beranggapan bahwa itu wajar saja dilakukan karena itu bukan jalan utama dan masih ada jalan alternatif lain yang bisa dipakai oleh warga lainnya. 

Tindakan seperti kasus yang kedua ini bahkan akan menimbulkan persoalan atau rasa tidak senang bagi warga lainnya. Mereka kadang mesti mengambil jalan alternatif yang memutar yang sangat jauh. 

Hal ini jika dilakukan tanpa komunikasi dalam komplek atau Rukun Warga tersebut jutsru akan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis dalam lingkungan tersebut. 

Kebiasaan lain yang mulai marak dilakukan masyarakat saat ini juga bermain musik, sperti orgen-tunggal yang sangat hiruk, hingga larut malam atau bahkan hingga menjelang subuh. Tidak jarang pula, penyanyi yang ditampilkan memakai pakaian diluar batas kesopanan.

Entah dari mana datangnya, dan siapa yang pertama memulai tidak dapat dirunut secara pasti. Kalau dibilang itu merupakan transformasi dari tradisi lama Adat yang diadatkan dari bermain musik tradisional seperti saluang atau rabab, juga tidak dapat dibenarkan. 

Permainan musik tradisional minang tidak banyak tercatat dilakukan pada malam pernikahan apalagi hingga larut sekali. Sebahagian orang juga mengatakan, ini adalah kebiasaan meniru Budaya Barat. 

Pendapat ini justru salah sama sekali. Pesta meriah dengan musik hingga tengah malam di tidak dikenal oleh masyarakat di Barat. Sebagai orang yang pernah tinggal lebih dari enam tahun di negara berbudaya barat (Australia dan Amerika Serikat), dan berkunjung ke berbagai negara Eropah, penulis tidak pernah menyaksikan sekalipun ada orang yang melakukan pesta di rumahnya hingga tengah malam, apalagi disertai musik yang membuat bising lingkungan. 

Sebuah pesta pernikahan yang diawali dengan membuat kebisingan bagi tetangga dan lingkungan tentu akan menimbulkan rasa tidak nyaman, terungkap ataupun tidak. 

Mungkin saja, yang melakukannnya beranggapan kan ini hanya sekali saja, tidak setiap saat. Akan tetapi difikirkan jugakah, bagaimana kenyamanan tetangga yang punya anak kecil yang tidak bisa tidur, atau tetangga yang pulang kerja yang butuh istrirahat.

Alih-alih pesta tersebut untuk mengharapkan harmonisasi dan rasa turut berbahagia dan doa dari tetangga, justru bisa saja umpatanlah yang akan didapatkan. 

Bagaimana Toleransi dan Solusi”


Sejatinya hidup bermasyarakat dan bertentagga adalah hidup penuh tolerasi dan saling menghargai. Setiap kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan oleh orang lain. Hak dan kebutuhan kita juga bertemu dengan hak-hak orang lainnya, itulah yang disebut sebagai harmonisasi dalam toleransi itu.

Dalam pelaksanaan pesta pernikahan, kita menyadari tidak semua orang mampu menyewa gedung. Sehingga jalan keluarnya dalah di pekarangan rumahnya, yang tidak jarang mesti memakai jalan umum.  Lalu, seberapakah batas toleransi masyarakat yang harus diberikan untuk pelaksanaan itu? 

Komunikasi, saling memahami dan menghargai adalah inti dari permasalahan tersebut. Kemudian ditambah lagi dengan izin resmi dari pihak berwajib jika dibutuhkan.  Masyarakat mesti bertoleransi, dan pihak yang melaksanakan pesta mesti lebih mengerti dan bertoleransi pula.

Pihak yang melaksanakan pesta yang memakai jalan raya, mesti berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Sebelum pelaksanaan pesta, pihak keluarga juga telah membuat pengumuman akan adanya penggunaan jalan, sehingga tetangga juga dapat bersiap-siap. 

Jika ada masukan warga, pihak pelaksana juga mesti dapat mempertimbangkan dan menerimanya. Penutupan jalan sebisa mungkin tentu tidak menutup total akses jalan warga. 

Tidak kalah pentingnya, pada saat pelaksanaan pesta, pihak keluarga harus ikut bertanggungjwab terhadap kelancaran jalan raya dan membantu mengurai kemacetan yang terjadi. 

Lain halnya dengan musik hingga tengah malam. Semua masyarakat, terutama yang melaksanakan pesta mesti memahami makna toleransi yang sebenaranya. Berkomunikasi dan taat akan kesopanan dan tata krama sosial.

Dalam masyarkata adat di Minangkabau, fungsi mamak dan datuk mestilah kembali ke khittah nya, yang dapat memayungi dan mengayomi. Dalam tatanan daerah yang lebih luas, sudah saatnya perlu diatur dalam peraturan kepala daerah (Perwako atau Perbub) atau mungkin Perda, sehingga ada aturan pelaksanaan dan sangsi pelanggrannnya dapat diterapkan. (*) 


×
Kaba Nan Baru Update