Notification

×

Iklan

Iklan

Guru Impor Akankah Memberi Solusi?

15 Mei 2019 | 21.19 WIB Last Updated 2019-05-15T14:19:21Z

Oleh: Alvi Rusyda *) 
 
Pasbana.com -- Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani membantah pemerintah akan mengimpor guru dari luar negeri.Ia menegaskan, yang dilakukan pemerintah adalah mengundang guru-guru dari luar negeri untuk melatih para guru serta mengajar para siswa-siswi di dalam negeri.

"Saya sampaikan dalam Musrenbang Bappenas beberapa waktu lalu, saya tidak pernah mengatakan impor tapi akan mengundang guru-guru dari luar untuk training of trainer, memperkuat peningkatan guru yang ada di Indonesia," kata Puan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/5/2019).

Ia menyayangkan pernyataannya itu dipelintir seolah-olah pemerintah akan mengimpor banyak guru dari luar negeri untuk menggantikan peran guru di Indonesia.

"Jadi kalimat impor itu kemudian yang menjadi salah kaprah. Bukan seperti kita impor barang jadi ratusan ribuan karung misalnya ton. Ini manusia lho ya," tambah dia.

Puan mengatakan, para guru yang diundang ke Indonesia itu nantinya akan memberi pelatihan keterampilan mengajar kepada guru Indonesia. Selain itu, mereka juga akan diberi kesempatan mengajar langsung para peserta didik.

"Tapi bagaimana ini pun sedang kami lakukan kajian-kajiannya, jadi tolong saya tidak pernah mengatakan impor tapi mengundang. Dan kalaupun mengundang bukannya kemudian guru-guru di sini, dosen dosen di sini, pengajar-pengajar di sini itu tidak diikutsertakan," kata dia.

Puan mengatakan, saat ini ia terus berkoordinasi dengan Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Perindustrian terkait teknis program ini.

"Jadi sudah peningkatan SDM, kemudian nanti kita bisa kasih mereka kesempatan untuk bekerja di industri. Jadi memang dunia industri dan pendidikan itu ke depannya akan kita lebih sinergikan," kata dia.

Saat ini, menurut Puan pihaknya juga masih mengkaji negara mana yang tepat untuk mendatangkan guru dari luar negeri ini.

Saat ditanya apakah program mengundang guru ini karena kualitas guru Indonesia yang masih di bawah standar, Puan membantahnya.

"Bukan, ini kan percepatan, yang kita lakukan karena fokus SDM ini yang harus kita lakukan. Bukan mengatakan disini lebih baik disana tidak baik, tapi jika bisa memberi peningkatan, lebih baik kalau kita bisa lebih percepat," kata dia, seperti dikutip dari Kompas.com.

Menuai Pro dan Kontra

Menurut Ramli, `impor guru' atau mengundang pengajar dari luar negeri tidak tepat di tengah banyaknya guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun, tapi tidak mendapat upah memadai. 

"Pemerintah lebih baik menyejah terakan guru honorer jika memang memiliki banyak dana," ungkap Ramli, Ahad. 

Tidak hanya itu, Ramli juga mengungkapkan bahwa guru Indonesia memiliki potensi cukup baik dalam hal mengajar. Akan tetapi, banyak guru memang dibebani kurikulum dan administrasi yang berat, sehingga sibuk dengan banyak hal yang sejatinya tak perlu dilakukan.

Kemudian, lanjut Ramli, guru impor tidak akan bisa bekerja maksimal dengan ikatan kurikulum yang saat ini diterapkan. Pasalnya, mereka akan mengalami kendala bahasa, sehingga hal tersebut menjadi permasalahan besar. 

"Persoalan lainnya adalah maukah mereka para guru luar negeri ini mengajar di daerah terluar atau terpencil di Indonesia," kata Ramli.

Ramli juga mengaitkan guru impor dengan kondisi pendidikan di dalam negeri. Ramli memaparkan, berdasarkan data yang termuat di majalah Diktivolume 3 tahun 2013, ternyata jumlah Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) saat itu ada 429 lembaga, terdiri atas 46 LPTK Negeri dan 383 LPTK Swasta. Jumlah mahasiswa keseluruhannya mencapai 1,44 juta orang.

Hal ini, menurut Ramli, menjadi kenaikan yang sangat mengejutkan karena pada 2010 jumlah LPTK hanyalah sekitar 300 institusi. 

Artinya, ada kenaikan lebih dari 100 LPTK dalam jangka waktu hanya tiga tahun atau ada penambahan sekitar 30 LPTK setiap tahun atau tiga lembaga setiap bulan. 

"Jadi, setiap 10 hari muncul sebuah LPTK baru, tentu saja statistik ini langsung mematahkan asumsi bahwa minat menjadi guru itu rendah," kata Ramli.

Tak hanya itu, dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta, diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300 ribu orang per tahun. Padahal, kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40 ribu orang per tahun. Dengan demikian, akan terjadi kelebihan pasokan yang sangat besar. (Republika.co.id)

Nasib Pendidikan di Negeri

Sistem Pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan, sesuai dengan kebutuhan dan zaman. Namun perubahan yang dilakukan tidak membawa perubahan bagi masyarakat. Yang ada hanya menambah masalah yang semakin menumpuk tiada berujung.  

Masih banyak masyarakat yang tidak mengecap jenjang pendidikan formal, sarana dan prasarana yang kurang memadai, kekurangan SDM Pendidik, biaya pendidikan mahal, penyebaran tenaga pendidik tidak merata, serta berada di wilayah terpencil.

Baru-baru ini, dihebohkan dengan wacana Menteri Puan Maharani, ingin mendatangkan guru dari luar, untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. 

Tentu bagi masyarakat yang berprofesi sebagai seorang guru dan mahasiswa jurusan keguruan tidak setuju. Karena, merekalah yang akan mengabdi di negeri mereka. Kalau seandainya di datangkan guru dari negara lain, pasti akan terjadi persaingan dengan guru lokal, dan mematikan hak guru dalam negeri. 

Yang lebih dikhawatirkan guru dari luar negeri, pasti mereka akan membawa bahasa dan budaya dari negara mereka, dan disampaikan serta diajarkan kepada peserta didik di negeri ini.

Kalau budaya yang positif tidak masalah, tapi yang dikhapwatirkan, budaya yang merusak moral generasi muda negeri ini. Mereka semakin jauh dari pemahaman Islam, gaya hidup bebas, dan tingkah laku yang tidak mencerminkan sebagai seorang Intelektual, mereka disibukkan dengan urusan dunia semata. Ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi semakin menambah masalah di negeri ini. Nauzubillah.

Sayangnya, pemerintah tidak mengurus rakyat. Karena hidup di sistem Kapitalisme, mereka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.  Mereka sibuk dengan urusan komersialisasi, terutama dalam pendidikan. Dengan teganya, mereka mengambil keuntungan dari bisnis Pendidikan yang mereka rancang, sementara rakyat tidak mendapatkan sesuai dengan keinginannya. 

Rakyat dituntut untuk mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mendapatkan pendidikan terbaik, mereka membuat sistem UKT, yang disesuaikan dengan pendapatan orang tua katanya. 

Diantara ribuan pendaftar di kampus, pasti ada yang mengambil jurusan keguruan. Dengan harapan mereka akan menjadi guru setelah tamat kuliah. Sehingga ketika tamat tidak menjadi sarana pengangguran. Dan jika mereka mengajarkan atau menjadi tenaga honorer, gajinya tidak sebanding dengan apa yang guru korbankan untuk muridnya.

Sebenarnya, SDA guru di negeri ini sudah cukup banyak. Banyak guru yang berpotensial, namun tidak dilirik oleh negara. Hanya beberapa orang tertentu saja. Beban Guru sekarang  sangat berat, banyaknya tugas negara yang harus diselesaikan, disamping harus mendidik siswa, ditambah dengan pergantian kurikulum yang semakin rumit. 

Tetapi honor yang diberikan tidak sebanding dengan apa yang dilakukan. Sehingga ada yang menjadi guru sukarela, mencari tambahan penghasilan lain, dan ada yang berganti profesi, sehingga ada beberapa sekolah yang tutup karena tidak ada guru yang mengajar, dan tidak adanya tindakan dari pemerintah.

Sistem Pendidikan Islam

Dalam pendidikan Islam, Pendidikan yang berkualitas terjamin dengan tenaga pendidik mumpuni semua bidang ilmu. Dan untuk mendapatkan pendidikan itu sangat mudah bahkan diberikan secara cuma-cuma. Orang non muslim juga banyak menuntut ilmu di negeri muslim. 

Tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan mempunyai kepribadian Islam serta menguasai ilmu sains dan teknologi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kepala negara pernah mengirimkan tenaga pendidik untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Pada saat yang sama, 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengizinkan kaum muslim satu dengan yang lain saling belajar dan mengajar.
Pada masa Abu Bakar As-Siddiq, masjid difungsikan sebagai tempat belajar, ibadah dan musyawarah. 

Kuttab, merupakan pendidikan yang dibentuk setelah masjid, didirikan pada masa Abu Bakar. Pusat pembelajaran adalah kota Madinah, dan yang bertindak sebagai tenaga pendidik adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para pelajar dan ilmuan semangat dalam mendalami ilmu serta menghasilkan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi umat. Mereka sungguh- sungguh dalam berkarya. Sehingga mereka menjadi ilmuwan yang tersohor di dunia dengan karya yang luar biasa. Negara sangat menghargai karya pelajar, jika dia menghasilkan buku maka karyanya ditimbang dan digaji dengan emas.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Al-Qur’an masing-masing sebesar 15 dinar, di mana satu dinar pada saat itu sama dengan 4,25 gram emas. Jika satu gram emas Rp. 500.000,00 dalam satu dinar berarti setara dengan Rp 2.125.000,00. Dengan kata lain, gaji seorang guru mengaji adalah 15 dinar dikali Rp 2.125.000, yaitu sebesar Rp 31.875.000,00.

Jadi, dalam sistem Islam guru-guru sangat sejahtera dan semangat untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmunya. Wallahua'lam.

*) penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang
×
Kaba Nan Baru Update