Notification

×

Iklan

Iklan

Akreditasi Sekolah Menengah di Era 4.0

07 Desember 2019 | 12.55 WIB Last Updated 2019-12-07T05:55:18Z
Oleh: Hendrison Bachtiar [*

Pasbana -- Dalam sebuah pernyataan, Mas Menteri Nadiem Makariem mengungkapkan, "Kita memasuki era dimana akreditasi sekolah tidak menjamin mutu". 

Saya secara pribadi, sesuai dan sepakat dengan pendapat Mas Menteri ini. Saya sejak dahulu termasuk yang tak mau ribet-ribet dengan urusan-urusan administrasi yang tergolong tak efektif dan efisien.

Bagi saya,  bahwa sekolah itu adalah kelas, halaman dan tempat ibadah (masjid/musholla). Di tiga tempat ini butuh kehadiran guru berlama-lama dengan siswa,  agar kita betul-betul merasakan bahwa sebenarnya sekolah itu tentang manusia,tentang context bukan text. Tentang fikiran, jiwa , akal dan perasaan. 

Guru harus hadir disana, diving disana, staying disana, playing disana, laughing, serta thingking. Totalitas dalam memberikan pendidikan dan pengajaran.

Menurut saya, akreditasi telah membuat para guru 'terpisah' dari murid. Lebih terkesan ribet, serta membuat sebagian kalangan guru tertekan.

Pendidikan bukanlah perusahaan. Akreditasi memang diperlukan, namun tetap memperhatikan skala prioritas. Lebih dipentingkan bagaimana hubungan secara langsung guru dengan kelas, halaman anak didik dan tempat ibadah anak didik.

Menurut saya, akreditasi sebaiknya diprioritaskan untuk hal-hal seperti berikut;

1. Seberapa besar ekspektasi (harapan) masyarakat supaya anaknya diterima di satu sekolah. Lihat jumlah pendaftar dan siapa siswanya yang mendaftar di PPDB.

2. Indeks ketercapaian  Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dari pembelajaran.

3. Indeks kepatuhan siswa terhadap aturan sekolah.

4. Jumlah kelulusan di Ujian Nasional (UN) kalau masih ada.
5. Penerimaan lulusan di perguruan tinggi.

Dengan lima prioritas ini, output yang dihasilkan akan lebih berkualitas. Kalau pun ada tambahan, lebih diarahkan pada pembentukan kualitas manusianya secara langsung. (*)

[* Guru di SMAN 1 Padang Panjang
×
Kaba Nan Baru Update