Notification

×

Iklan

Iklan

Sekolah Tangguh

04 Juli 2020 | 05.42 WIB Last Updated 2020-07-03T22:42:15Z

Oleh : H. Muhammad Syukron, Lc

Pasbana.com --  Empat bulan terakhir Indonesia disibukkan dengan permasalahan virus corona 19 yang belum usai dan entah kapan akan berakhirnya. Banyak pakar dan ilmuan yang memprediksi kalau virus ini akan usai tuntas sampai dua tahun kedepan. Dengan ini tentu akan memberikan banyak dampak terhadap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Dampak yang diakibatkan bukan main-main pengaruhnya terkhusus dalam bidang ekonomi, budaya, sosial, pariwisata dan tentu yang tidak kalah pentingnya dampak terhadap keberlangsungan pendidikan di negeri yang kaya akan SDM yang dimilikinya ini. 

Berbicara masalah pendidikan kita teringat pesan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara yang juga sebagai Menteri Pendidikan pertama RI tahun 1950 beliau membuat semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya, sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia hingga kini. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi "ing ngarso sung tulodo", "ing madyo mangun karso", "tut wuri handayani" yang artinya "di depan memberi contoh", "di tengah memberi semangat", "di belakang memberi dorongan."

Sangat dalam sekali makna yang terkandung pada semboyan tersebut. Jauh-jauh sebelum kemerdekaan RI tahun 1945 yang didapat dengan perjuangan para pahlawan dan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Esa ini, 14 abad tahun yang lalu Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia juga mengajarkan akan arti qudwah (contoh) dan suritauladan antar sesama, apalagi ketika berbicara masalah pendidikan (tarbiyah), maka ia mendapatkan posisi sangat strategis dalam memajukan SDM dan karakter serta akhlak manusia itu sendiri. Tidak lain dan tidak bukan Rasulullah Saw adalah sebaik-baik guru (murabbi) bagi umat sebagai pendidik yang memberikan pengajaran bahwa Islam adalah agama rahamatan lil alamin. 

Dengan kondisi saat ini, pemerintah mulai konsentrasi memikirkan dampak dari pandemi yang sudah sekian lama melanda lini pendidikan di Indonesia dan kemudian memikirkan bagaimana keberlangsungan pendidikan bagi putra putri terbaik bangsa ini kedepannya dalam masa pandemi itu sendiri. 

Mulai muncul pendapat dan konsep untuk memikirkan cara-cara agar pendidikan tetap berlanjut ditengah pandemi yang berkepanjangan, pada akhirnya Mas Menteri menyampaikan konsep Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang awalnya hanya sebagai solusi sementara dan pada akhirnya dijadikan sistem permanen dalam dunia pendidikan Indonesia yang kemudian menjadi tanda tanya dan polemik baru dalam dunia pendidikan itu sendiri. 

Berbicara pendidikan tidak bisa terlepas dari yang namanya mendidik, membina, mengarahkan dan mengayomi, karena contoh dan tauladan dari guru, pendidik atau (murabbi) dalam bahasa arabnya sangat diperlukan untuk keberhasilan peserta didik, contoh dan tauladan dari seorang pendidik (murabbi) akan bisa dirasakan ruhnya bagi peserta didik disaat adanya interaksi sosial yang diperlihatkan sehingga menghasilkan insan akademika yang memiliki integritas, akhlak dan budi pekerti yang luhur untuk menjadi tolak ukur dan pondasi awal akan kesuksesan pendidikan itu sendiri. 

Jauh sebelum Mas Menteri mengemukakan pendapat tersebut, ulama sebagai pewaris Nabi Saw, para ilmuan dan cendikiawan terdahulu dari kalangan sahabat, tabi'in, tabi' tabi'in dan sampai kepada kita hari ini sudah mewariskan tongkat estafetnya kepada kita agar bisa melanjutkan perjuangan yang sudah dirintis sedari awal goresan tinta emas sejarah pendidikan itu sampai hari ini.

Isyarat bahwa jauh sebelum memiliki ilmu, yang mesti dikuasai terlebih dahulu adalah adab dan akhlak di dalam jiwa sang penuntut ilmu tersebut. Maka timbul pertanyaan, dimana adab dan akhlak ini bisa didapatkan ? Dan jawabannya adalah di majelis ilmu atau tempat menuntut ilmu itu sendiri, karena transformasi ilmu dari seorang guru terhadap muridnya tidak hanya saja sebatas materi dan teori yang diberikan, namun ia harus lebih dirasakan ketika ruh dan energi itu mengalir disaat pertemuan dan tatap muka antara guru dengan muridnya dan kemudian barulah tercipta energi positif dan aura keberkahan dalam menuntut ilmu itu sendiri. 

Imam Syafei pernah mengatakan : "Al Adabu Qabla Ilmu" (Beradab dan berakhlak sebelum menguasai ilmu). Jadi, keberhasilan dan prioritas utama dalam dunia pendidikan itu adalah akhlak dan adab yang didapatkan lewat pembinaan karakter peserta didik yang mesti dikawal dan dibina terus tanpa kenal lelah, sampai benar-benar kuat dan kemudian barulah ilmu secara teori yang disampaikan tadi bisa mengalir mengikuti arah akhlak yang sudah dimiliki oleh peserta didik. Namun, kalau pendidikan dan ilmu itu sudah dikapitalisasi sebagai wadah pemutaran uang dan perekonomian dengan dalih mengikuti teknologi dan perkembangan zaman, maka pendidikan di Indonesia akan berubah kepada arah modrenisasi yang hanya mengedepankan teknologi tanpa melihat substansi dari pendidikan itu sendiri. 

Ketika masa pandemi ini, telah bermunculan istilah dalam bidang perekonomian dengan sebutan Hotel Tangguh, Restoran Tangguh, Pasar Tangguh dan tangguh-tangguh lainnya, lalu kenapa di dunia pendidikan tidak bisa dimunculkan dengan istilah Sekolah Tangguh, Pesantren Tangguh dan Kampus Tangguh ? sementara cikal bakal keberlangsungan dan kemajuan negeri ini nanti akan diisi oleh para siswa/santri yang hari ini tengah menuntut ilmu dan mempersiapkan diri untuk bisa menggantikan pemimpin negeri ini di masa yang akan datang. Kalaulah akhlak dan karkater tidak lagi menjadi titik fokus dalam pendidikan ini, entah akan bagaimana nasib bangsa ini kedepan, karena peserta didiknya sangat kering akan pembinaan, karakter dan akhlak, disebabkan sudah terpengaruh dengan pesatnya teknologi yang dihidangkan kepada mereka tanpa dikawal dan dimodali dasar yang kuat untuk memanfaatkan teknologi itu sendiri. 

Maka penulis dengan yakin menyampaikan bahwa konsep membekali karakter dan pembinaan peserta didik jauh lebih penting dan berarti ketimbang hanya mengejar teori dan materi yang akan didapat oleh siswa/santri ketika tidak ada lagi interaksi antara guru/pendidik (murabbi) dengan muridnya, maka kemudian akan terjadilah kekeringan makna terhadap pendidikan itu sendiri. 

Wallahu A'lam Bisshawab ..
×
Kaba Nan Baru Update