Notification

×

Iklan

Iklan

Gelas-gelas Kaca

11 Oktober 2021 | 14.00 WIB Last Updated 2021-10-29T07:01:43Z

Oleh: Irsyad Syafar



Pasbana.com -- Ini bukanlah judul lagu yang terkenal di zaman tahun 80an. Akan tetapi ini merupakan ilustrasi Rasulullah Saw tentang kelemahan dan kelembutan kaum hawa (perempuan). Mereka disamakan oleh Beliau dengan kaca. Dalam haditsnya Beliau bersabda:

رِفْقًا بِالْقَوَارِيْر (البخاري).

Artinya: “Bersikap lunaklah terhadap gelas-gelas kaca (kaum wanita).” (HR Al Bukhari)

Qawarir merupakan bentuk jamak dari kalimat “qarurah” yang artinya adalah kaca atau bejana kaca. Maka kaum hawa disamakan dengan kaca karena lembutnya mereka sekaligus juga karena lemahnya mereka. Sebab kaca sangat lembut dan halus, juga sangat mudah pecah bila bersinggungan dengan benda-benda keras. Mereka diumpamakan dengan kaca karena kelemahan hati mereka. Dimana hati mereka sangat cepat berubah dari ridho menjadi tidak ridho atau sebaliknya dari tidak suka menjadi suka. 

Dan mereka juga sangat sensitif dengan kekerasan, karena asal penciptaan mereka adalah dari unsur yang paling rentan untuk pecah atau patah, yaitu tulang rusuk yang bengkok. Rasulullah Saw bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ. (رواه البخاري).

Artinya: “Berwasiatlah untuk (berbuat baik) kepada kaum wanita. Karena perempuan tercipta dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok dalam tulang rusuk adalah paling atasnya. Jika kamu ingin meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya. Jika kamu membiarkannya, maka ia akan bengkok terus. Karenanya, berwasiatlah untuk memperlakukan kaum wanita secara baik.” (HR Bukhari).

Begitulah, sudah menjadi takdir Allah Swt, Dia menciptakan wanita dengan sifat penuh kelembutan dan kelemahan. Hati mereka lemah sehingga sangat sensitif dan perasa. Mereka sangat mudah tersinggung tapi juga senang dipuji. Mereka agak mudah curiga (berburuk sangka), mudah cemburu dan mudah menangis. Satu kalimat kita ucapkan kepadanya bisa membuatnya menjauh dari kita sejauh bintang dilangit. Sebagaimana juga satu pujian yang kita berikan baginya, membuat kita bisa bersemayam di dalam hatinya.

Oleh karena itu, ketika seorang lelaki sudah menikahi seorang perempuan dan menjadikannya sebagai istri, maka ia harus memperlakukan perempuan tersebut sesuai dengan karakter dan penciptaan aslinya. Jaga selalu hati dan perasaannya, karena ia sangat sensitif dan perasa. Jika ingin membimbingnya, maka jauhkan cara kekerasan apalagi kasar. Bahkan tak boleh berhenti memberikan kebaikan kepadanya. Sebab, sekali saja seorang suami menyakiti hatinya, ia takkan mudah melupakannya. Rasulullah Saw bersabda:

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌ. (رواه البخاري والمسلم)

Artinya: “Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri-istrimu sepanjang umurmu, kemudian dia melihat suatu (yang tidak disukainya) darimu maka ia akan berkata, “Aku sama sekali tidak pernah melihat kebaikan darimu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Setiap suami harus padai dan berpandai-pandai dalam berinteraksi dengan istrinya. Sikap berbasa-basi, berbahasa lembut dan berkomunikasi dengan penuh kasih sayang adalah resep terpenting untuk mendapatkan cinta dan kesetiaannya. Dan itu merupakan kunci utama kelanggengan sebuah rumah tangga. Sebaliknya, suami yang ego, kasar, tidak peduli dengan perasaan istrinya, sesungguhnya ia sedang merobohkan bangunan rumah tangganya sendiri.

Syariat Islam telah mewajibkan kepada para suami untuk memperlakukan istrinya secara baik (mu’asyarah bilma’ruf) (QS An Nisa: 19), menunaikan maharnya secara penuh, memberikan makanan dan pakaian baginya (QS Al Baqarah: 233), menyediakan tempat tinggal yang layak baginya sesuai kemampuan suami (QS Ath Thalaq: 6), dan mengharamkan perbuatan yang menganiaya dan menyakiti fisiknya, seperti memukul wajahnya dan menjelek-jelekannya. Mu’awiyah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang kewajiban suami kepada istrinya. Beliau menjawab:

أنْ تُطْعِمَها إذا طَعِمْتَ، وَتَكسُوَها إذا اكتسَيْتَ. ولا تَضرِبِ الوَجْهَ، وَلاَ تُقبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إلاّ فِي الْبَيْتِ. (رواه أبو داود).

Artinya: “Berilah makan kepadanya ketika kamu makan, berilah pakaian baginya apabila kamu berpakaian. Janganlah memukul wajahnya, janganlah mendoakan buruk kepadanya dan janganlah kamu tinggalkan ranjangnya kecuali di dalam rumah.” (HR Abu Daud).

Jelas sekali petunjuk Rasulullah Saw di atas bahwa seorang perempuan dinikahi adalah untuk dicintai dan dilindungi. Dan suami wajib mencintai istrinya serta memperlakukannya secara baik dan layak. Bahkan lebih dari itu, secara hukum fiqh istri tidaklah wajib memasak atau mencuci pakaian untuk suami dan keluarganya. Menurut Jumhur Ulama, istri lebih utama membantu tugas tersebut bila adat yang berlaku memang seperti itu. Membantu sesuai dengan kemampuannya karena sejatinya memang bukan kewajibannya. Adapun suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk menfasilitasi pembantu atau alat bantu untuk meringankan tugas-tugas tersebut. sebab menyediakan makanan dan pakaian adalah tugas dan kewajiban suami.

Jika demikian, bila istri mampu menghidangkan makanan yang enak, memberikan pakaian yang rapi dan wangi bagi suaminya, sudah selayaknya suami berterimakasih kepada istri dan memujinya. “Terimakasih dek, makanannya enak sekali. Terimakasih sayang, bajunya wangi dan rapi…” Tentu istri akan merasa tersanjung, hatinya berbunga-bunga dan cintanya akan semakin bertambah kepada suaminya.

Tapi sebaliknya, tidaklah elok bila suami memarahi istrinya kalau makanan terasa kurang enak, atau pakaian banyak yang kotor dan belum tercuci, atau rumah berantakan dan sebagainya. Sebab istri bukanlah pembantu rumah tangga. Apalagi kalau istri ikut pula bekerja menopang ekonomi dan penghidupan keluarga, suami semakin tidak boleh menyakitinya. Sebab dia telah ikut memikul kewajiban yang seharusnya berada di pundaknya. Kadang sebagian suami, sudahlah tidak cukup memberikan nafkah, jarang pula berterimakasih kepada istrinya. Ini sikap yang sangat keterlaluan.

Bukan berarti istri lalu menjadi bos besar di rumah. Kerjanya duduk-duduk saja dan makan minum. Apalagi sampai menyuruh suami menyiapkan makanan dan pakaian. Tidak sama sekali. Istri yang baik (shalehah) dan tahu diri tentu akan membantu suaminya dengan penuh cinta, mengambil peran dalam meringankan beban-beban suami. Dan yang pasti adalah melayani suaminya sepenuh jiwa dan raga, menjaga kehormatannya dan menjaga anak-anak dan hartanya.  

Wallahu A’laa wa A’lam.
×
Kaba Nan Baru Update