Notification

×

Iklan

Iklan

Koto Tuo, Nagari di Kaki Marapi Penghasil Kopi Nikmat

17 November 2022 | 14.49 WIB Last Updated 2022-11-25T02:21:14Z

Pasbana, Tanah Datar - Nagari Koto Tuo. Salah-satu nagari di Minangkabau yang paling awal melakukan budidaya tanaman kopi yang digalakkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Sampai hari ini, mereka masih bertahan dengan budidaya tanaman kopi tersebut.

Koto Tuo, sebuah nagari yang terletak  di sebelah timur Gunung Marapi. Terletak pada ketinggian tidak kurang dari 900 m/dpl, sehingga sangat memungkinkan untuk ditanami kopi. Walau pun terletak pada ketinggian dan berada di kaki Gunung Marapi, namun Nagari Koto Tuo ini tidaklah terlalu sepi dari pusat keramaian. 

Hanya berjarak sekitar 3 km dari balai nagari Sungai Tarab di tepi jalan raya, sebelah tenggara keberadaan Nagari Koto Tuo ini. Dan 3 km pula arah utara ada balai nagari Rao-rao yang juga terletak di tepi jalan raya.

Kedua balai nagari yang pasarnya sekali sepekan ini, menurut catatan Belanda pada buku Sumatera Barat Plakat Panjang karangan Rusli Amran, punya gudang kopi yang besar dengan toke-toke yang siap menampung hasil panen kopi dan juga olahan kopi mereka. 

Jadi, tidak hanya biji kopi mentah saja yang mereka keluarkan, namun juga berbagai produk kopi dengan berbagai merek mereka produksi. Pada masa ini, mungkin ada puluhan merek kopi yang berasal dari nagari ini. Ke semua merek tersebut mendominasi pasar perkopian tradisional Sumatera Barat saat ini.

Mereka bekerja merendang kopi setiap hari, kecuali hari Rabu. Karena hari Rabu itu hari pekan di Sungai Tarab dan mereka, pada hari pasar itu akan menanti penyalur, yang lazim mereka sebut tukang kampas untuk mengangkut produk mereka.


Dalam merandang kopi, biasanya produsen bubuk kopi menggunakan tiga tungku di pondok . Dua tungku telah menggunakan mesin diesel untuk memutar drum dan satu tungku manual yang diputar menggunakan tenaga manusia, digunakan sebagai tungku cadangan jika suatu waktu mesin diesel mereka rusak. 

Dari dua tungku yang menggunakan mesin diesel itu, satu drum digunakan untuk merendang kopi yang berkapasitas 40 kg dan satu drum berkapasitas 50 kg digunakan untuk merendang jagung. Setelah direndang, 40 kg kopi itu dicampur dengan 50 kg jagung, diaduk menjadi satu.

Kopi dicampur jagung dengan takaran tertentu, itulah resep tradisional produk kopi dari Nagari Koto Tuo ini. Terkadang, mereka juga punya resep tambahan, selain dicampur jagung ada juga ditambahi dengan coklat cair, dengan cara diolesi pada biji-biji kopi yang sudah direndang. 


Resep ditambahi cokelat ini juga dipakai oleh beberapa pengrajin kopi bubuk. Tidak ada yang salah, juga bukanlah suatu citarasa yang rendah. Inilah tradisi, tradisi yang membentuk lidah mereka sesuai dengan cecap kopi-jagung tersebut. 

Sebagaimana tradisi bagi orang-orang di Nagari Koto Tuo ini menjadi tukang kopi untuk wilayah Sumatera bagian tengah.

Setelah selesai marandang, selanjutnya menggiling kopi-kopinya ke huller di ujung Nagari Koto Tuo ini. Ada 2 buah huller di Nagari ini dan masing-masing huller ini menerima pesanan gilingan kopi rata-rata 1 ton/hari.

Angka 1 ton/hari tersebut bisa menjadi patokan bahwa Nagari ini memproduksi kopi rata-rata dalam angka 1 ton/hari juga dengan berbagai merek, yang tersebar ke Sumatera bagian tengah.

“Padusi marandang, laki-laki mangampas.” ini pembagian tugas yang sudah berjalan. Sebuah tradisi di Nagari Koto Tuo dengan pembagian kerja antara perempuan dengan laki-laki. Perempuan mendapat porsi kerja untuk pengolahan, mulai dari mengolah biji kopi yang masih hijau, lalu merendangnya, menumbuk atau kini sudah digiling di huller, kemudian mengemasnya sesuai dengan takaran kemasan. 

Baru setelah semua itu selesai, laki-laki yang berperan untuk memasarkannya, tersebar merata ke seluruh Sumatera bagian tengah. Lihat saja, jika Saudara pergi ke minimarket atau toko-toko biasa, Saudara dengan begitu mudah akan menemukan kemasan kopi bertuliskan Koto-Tuo-Sungai Tarab.(bd) 

#makin tahu Indonesia
×
Kaba Nan Baru Update